Jumat, 06 September 2013
Mwathirika: "Memunculkan" Lewat Kehilangan
Baba |
Moyo |
Pada Jumat malam tanggal 6 September 2013, teater boneka Papermoon menyajikan sebuah cerita yang menyentuh ruang luas walau hanya bersentuhan dengan dua buah rumah sebagai latarnya. Rumah pertama dihuni oleh Baba, seorang bapak bertangan satu yang memiliki dua anak, Tupu si anak perempuan bungsu nan manja, dan Moyo si sulung yang kerap jahil namun juga menyayangi adiknya. Rumah kedua adalah rumah Haki, seorang bapak dengan anaknya, Lacuna, yang hidup di atas kursi roda. Kehidupan bertetangga harmonis ini harus berantakan setelah simbol segitiga merah tertulis di rumah keluarga Baba. Simbol itu pula yang harus melenyapkan Baba dan Moyo. Sementara Tupu yang polos harus menelan pahitnya dikucilkan Haki yang tidak ingin dibawa-bawa ke dalam masalah apabila terlihat dekat dengan keluarga Baba.
Haki |
Lacuna |
Menilik ilustrasi di atas jelas akan membawa nalar kepada sejarah kelam tahun 1960an ketika seseorang yang dilekatkan simbol tertentu acap kali menjadi korban. Namun hal itu tidak lantas membuat pertunjukkan ini menjadi monoton atau sekedar dokumentasi penggalan sejarah. Lebih dari itu, kepolosan dan keluguan anak kecil yang dijadikan sudut pandang lakon justru mampu menghadirkan perasaan yang melebihi aspek historis itu sendiri. Ialah aspek humanis yang disentuh dengan manis.
Gestur yang dimunculkan benar-benar memberi nyawa pada geliat peran masing-masing tokoh. Saya dibuat tersenyum, tertawa, hingga gemas oleh tingkah polah Tupu yang kerap diganggu oleh kakaknya, Moyo. Baba, si bapak, tampil dengan sangat berwibawa. Pun ketika suasana makin menjurus haru, kelompok Papermoon ini mampu memaksimalkan segala penunjang, seperti pencahayaan dan musik, untuk memainkan rasa dalam cerita ini. Diamnya Tupu dan Moyo saat Baba diculik adalah diam yang berbunyi. Ia nyaring, namun tidak bising. Haki yang melarang Lacuna bermain bersama Tupu pun berhasil mengangkat ke permukaan persoalan "jaga jarak, main aman" yang lumrah terjadi. Lacuna yang diam-diam menghibur Tupu dengan kotak musiknya, berbalasan dengan bunyi peluit Tupu, memperlihatkan bahwa bunyi adalah juga pelantun kesepian dan kesedihan yang mampu mengusik.
Saya terkesima habis-habisan pada sosok Tupu. Entah kenapa. Saya yang tidak terlalu suka anak kecil merasa perempuan kecil ini menarik. Ia hidup benar-benar tanpa tendensi. Tupu yang kehilangan adalah Tupu yang sama saat ia bahagia. Ia yang mencari-cari adalah ia yang menepuk-nepuk tangan orang seenaknya, merengek saat balonnya diambil, dan ketika iri melihat Lacuna punya kotak musik. Kehilangan yang dirasakan oleh Tupu adalah kehilangan yang memunculkan. Memunculkan perasaan yang bukan belas kasihan. Perasaan itu lebih seperti perasaan ingin menjadi boneka keenam yang berperan sebagai kehilangannya itu sendiri.
Tupu |
Pementasan cerita ini berhasil menyelamatkan diri dari tendensi untuk menghakimi pihak manapun. Menampilkan sudut pandang korban, tidak harus mereka tunjukkan penderitaan yang menyudutkan pihak "pelaku". Menampilkan sudut pandang korban, ternyata bisa berarti menggemakan sakit itu semata. Ketika teater ini menutup aksinya seraya berujar, "Semoga peristiwa seperti ini tidak terjadi lagidi belahan bumi manapun," maka memang harapan itu yang ingin ditumbuhkan. Saya hampir cemas di tengah babak. Cemas jika pesan itu berganti dengan pesan penuntutan tanggung jawab dari pihak tertentu yang akan mengubah sajian ini menjadi tendensius. Ternyata mereka bijak untuk mengajak sebatas berharap pada kebaikan. Ternyata mereka teduh sebatas memunculkan getir yang memaksa saya - dan mungkin penonton lain - untuk mengepulkan asa lagi sambil menjaga diri masing-masing. Menjaga untuk saling memunculkan perasaan peka pada manusia lain. Kepekaan itulah yang menjadi pintu untuk saling menjaga kemanusiaan itu sendiri, dan seni - seperti yang mereka tampilkan - adalah salah satu kuncinya.
Sampai pertunjukan selesai, saya dibuat berkaca. Berkaca dari sebuah keluguan, perasaan dimunculkan. Kisah keluarga boneka ini berhasil memunculkan banyak hal: keteduhan, kepekaan, empati, dan pelukan, yang segalanya dengan amat manis dimunculkan lewat sebuah kehilangan.