Selasa, 21 Agustus 2012

Mwathirika.. di Roemah Kajoemanis....

http://cinnamome37.blogspot.com/2012/06/mwathirika.html


SENIN, 18 JUNI 2012

mwathirika.



"Ketika para wakil rakyat berusaha "membela" kepentingan bangsanya, siapakah korbannya?

Ketika para tentara berupaya menumpas kejahatan, siapakah korbannya?

Dan ketika kita hanya akan mencari jalan aman, siapakah korbannya?
Anak, kakak, adik, kekasih, orang tua, tetangga, sahabat, mereka, yang tak bersalah"

...



Banyak sekali hiburan, tapi hanya sebagian kecil saja hiburan yang cerdas, dan salah satu hiburan yang cerdas adalah menonton pertunjukan "Mwathirika" dari Papermoon Puppet Theatre, Jogjakarta. Setelah berharap dan menunggu sekian lama, akhirnya Papermoon manggung di Bandung, yipiiee!! Alhamdulillaah, akhirnya tercapai juga! :D

Untuk yang belum berkenalan, Papermoon Puppet Theatre adalah teater boneka yang dilahirkan dari seorang mbak manis : Maria Tri Sulistyani. Ia adalah seorang ilustrator dan penulis, juga mantan aktris teater realis. *pantesan, teater ciptaannya ini hiduuup sekali!*. Papermoon ini juga dibesarkan dengan Mas Iwan Effendi, seorang perupa yang suka bercerita. Karya-karyanya keren-keren, lho! Saya jatuh cinta pada karya-karyanya! :). Dulu mereka membuat pementasan teater boneka untuk anak-anak di kampung. Tapi sekarang Papermoon telah 'menetapkan hati' melakukan ekspreimen seni dengan menggunakan media teater boneka yang dapat dinikmati khalayak luas.

Saya datang jauh sebelum pementasan supaya bisa nonton di bagian paling depan! Ternyata mereka menyediakan satu bagian khusus supaya penonton bisa lesehan. Pertunjukan dibuka oleh Mbak Ria dengan hangat, sebagaimana kita bertamu ke sebuah rumah. Lalu kita diminta untuk 'menyamankan' duduk supaya dapat menikmati suguhannya! Selama 55 menit berikutnya saya berenang dan tenggelam dalam ceritanya.

Ceritanya sendiri berlatar penggalan sejarah besar Indonesia di puluhan tahun lalu ketika banyak keluarga yang merasa kehilangan. Biasanya kisah ini banyak ditutup-tutupi, dianggap tabu, takut untuk dibahas, tapi Papermoon Puppet Theatre mengajak kita untuk mengingat, mempelajari, dan merasakannya melalui sebuah dongeng bersama para boneka! Para penonton ditenggelamkan begitu dekat dengan kehidupan dua orang anak, Tupu dan Moyo, kakak beradik yang dibesarkan oleh Baba, pria pekerja keras bertangan satu. Detail ceritanya, silakan tonton sendiri, yaa! :D

Setiap boneka hidup walaupun terkadang yang memainkannya berganti-ganti. Pemain boneka yang terlihat sosoknya sama sekali tidak menggangu pertunjukkan secara visual, malahan memperkuat penokohannya. Racikan visual dan audio yang sangat menyatu membuat kita lupa bahwa semuanya 'hanyalah' panggung boneka.

Jujur, saya tidak dapat bercerita banyak karena saya hanya terpaku selama 55 menit ditambah beberapa saat setelahnya, dan saya tidak berhasil menceritakan rasanya dalam kata-kata *speechless*. Papermoon ini harus ditonton langsung sodara-sodara! Kenapa? Pertunjukkan "Mwathirika" ini berhasil menyatukan emosi tidak hanya dari para pemainnya saja, tapi juga merangkul emosi-emosi dan menyalurkan energinya untuk para penonton! Ikut tertawa, ikut nyesek, ikut nangis, ikut cemas, dan ikut yang lain. Cocok dengan yang mereka tuliskan di bookletnya, "..kesempatan untuk sama-sama mengingat, dan kesempatan untuk membagi rasa." Saya sangat percaya, karena begitu besar energi sang pemain tercurah, boneka-boneka Papermoon ini menyimpan berjuta energi yang satu saat dapat menceritakan 'detak jantung'nya kepada siapapun yang melihat atau memegangnya.

Untuk saya, Papermoon Puppet Theatre adalah sebuah bahasa cerdas dalam mendongeng. Tidak banyak kata, namun imajinatif, kaya rasa. Walaupun namanya teater boneka, tetapi mereka tidak hanya  menghidupkan boneka ke dalam sebuah cerita. Tapi mereka mengemas pemain, boneka, simbol-simbol melalui properti dan artistik panggung, tata suara, tata cahaya, proyeksi visual menjadi satu dunia maya yang menghanyutkan penonton pada keseluruhan emosi!


J E N I U S ! ! 


Sang peramu bahasa (baca: sutradara) Mbak Ria, mampu memilah dengan tepat pengemasan bagian-bagian cerita. Keseluruhan detail terpikirkan masak-masak. ThoughtfulTimingnya setiap adegannya tepat, tidak terlalu lama tidak terlalu cepat. Dan memang benar apa yang mereka sampaikan, walaupun mengangkat tema cerita yang 'tidak mudah' tapi para penonton mudah mencerna kisah dan rasanya. Angkat topi juga untuk desainer artistik,  Mas Iwan, yang sukses untuk 'nyemplungin' penonton pada dunia panggung yang ciamik!


Salut untuk seluruh pemain, pendukung, dan tentunya konseptornya!





Sebenarnya saya juga masih sangat ingin menonton "Secangkir Kopi dari Playa", karena sudah terisak hanya dengan menonton dari DVDnya saja *gembeng!*. Tapi sekarang baru bisa berdoa semoga dipentaskan kembali.. *amiin, beribu-ribu amiin*

Oke, sekian cerita kesan pesan "Mwathirika"nya.. Oya, "Mwathirika" ini akan dipertunjukkan juga di Amerika pada bulan September mendatang. Semoga sukses di sana, ya teman-temaaan!

Mwathirika untuk kesekian kalinya bagi Suryo Hapsoro...



Rabu, 20 Juni 2012


  Rasanya Masih Sama

Printed Artwork by Iwan Effendi. 

  

Mungkin lebih dari lima kali saya menyaksikan pertunjukan ini, dan sudah puluhan kali melihat proses latihannya. Mulai dari Tupu, Moyo, Baba, Haki, dan Lacuna belum “lahir” sampai mereka tumbuh dan berubah penampilannya. Mulai dari Tupu yang dilihat sebagai anak perempuan, sampai Tupu yang sudah bisa pipis berdiri. Mulai dari suara asli kotak musik Lacuna dipakai untuk latihan pertama kali sampai menjadi lagu yang selalu terngiang di setiap pentas dengan diiringi dengan tarikan nafas sesenggukan penontonnya.


Masih selalu sama rasanya melihat adegan-adegan itu. Iba luar biasa. Rasanya ingin sekali melihat Tupu tertawa lebih banyak, rasanya ingin sekali membantu Moyo mencari Babanya, dan masih saja selalu kecewa karena tidak bisa mengingatkan Lacuna supaya tidak bermain-main dengan peluit milik Tupu itu.


Mwathirika memang seperti benar-benar nyata, benar-benar ada dunia lain yang penghuninya adalah keluarga Baba, dan Haki yang bertetangga, anjing lincah yang taringnya sangat besar, badut yang tampak ramah tapi menyimpan kepentingan politis yang besar. Semuanya benar nyata telah dihidupkan di mana pun mereka dipentaskan.


Rasanya tidak bisa mengatakan, “padahal mereka hanya boneka.” Ya, mereka memang boneka, tapi tidak menjadi sekadar “hanya”. Rasa kagum masih selalu ada ketika semua pemainnya berhasil menghembuskan nafasnya untuk menghidupkan gerak para boneka. Tidak heran kalau US Department dan Center Stage memilih Papermoon dengan Mwathirika-nya untuk dipentaskan di Amerika Serikat. Mereka tidak akan pernah menyesal jika harus menghabiskan banyak dana untuk mendatangkan Geng Papermoon ini.


Pentas di Bandung kali ini membuat saya menjadi semakin tidak bisa bicara terlalu banyak. Dengan material baru dan kematangan karakter yang semakin baik tidak ada rasa bosan dalam diri saya sampai sekarang saya selalu menjadi penonton dalam pentas ini. Dan ketika rasa yang sama masih selalu timbul ketika melihat tontonan yang selalu sama itu adalah luar biasa.


Perjalanan menghidupkan dunia Mwathirika ke benua seberang semakin dekat, masih banyak yang direncanakan sebelum benar berangkat ke sana. Semoga rasa yang muncul masih akan selalu sama dirasakan oleh semuanya. Semoga juga pesan yang ingin disampaikan Tupu, Moyo, Baba, Haki, dan Lacuna lewat kisah hidup mereka diterima dengan baik juga oleh semuanya. Terimakasih Mwathirika!

One Writing about MWATHIRIKA.. in Jakarta

http://myoohsandahs.blogspot.com/2011/01/mwathirika-lost-history-and-loss-of.html


Mwathirika, a Lost History and The Loss of History

The perfect movement between the puppet and the puppet master, stage properties, lighting, and music ilustration was the only languange that being used to tell the story. A beautiful play, without a word being said. A little piece of history, 5 puppets to share the story.


Baba, a hard working man who has only one hand. He has two sons, Moyo and Tupu.Haki, is his neighbour. He has a daughter, Lacuna, a little girl who's using a wheelchair. No mother figure for the three of them, but their father always giving their best. They live "side by side" in their peaceful world.



Until one night, when someone puts a red triangle mark on Baba's house. That mark considered as "dangerous" at that time. Haki keeps his distance from Baba. Lacuna is not allowed to play with Moyo and Tupu. The red triangle mark changes their life.




The troops arrest Baba. He has one last wish before the troops take him, he wants to fix Tupu's toy first. Then, they can take him. The scene where Baba gives Tupu's toy that already being fixed, and then kisses them goodbye, that was really heartfelt. :'(



In loss and confuse, Moyo and Tupu keep waiting for their father. Keep on hoping that their father will come. But he'll never come. One day, Moyo follows a troops member. He wants to give something to Baba. The troops member notices that Moyo has a red whistle. A whistle that being used by Moyo and Tupu to call each other. If Tupu needs Moyo, he blows the whistle and Moyo will come to his little brother. What they don't know is, that red whistle is just as "dangerous" as the red triangle mark. Moyo never return ever since.


Now, Tupu is all by himself. No father, nor big brother who'll always be there to protect him. People walk right pass through him, like he doesn't even exist. He keeps on blowing his red whistle, hoping that Moyo or Baba can hear the sound of his fear and pain. The sound of his whistle becomes softer and softer, fades out and ends in silent as the light goes out. In the dark, Tupu bows his head and rest in the gentle embrace of his puppet master.


"For us, this is not about who killed who. This is about a lost history (and the loss of history) in our lives. Shouldn't it be so, that if we know what has happened in the past, then we can understand why we stand here now, and where we want to go in the years to come?", wrote the creators of the play, Maria Tri Sulistiyani, the daughter of a former Lieutenant Colonel of Indonesian Air Force, and Iwan Effendi, a grandson of dalang (wayang puppet master) who was a political prisoner for 13 years. Mwathirika, aSwahili word that means victim, is just one of the languages being used, to tell the history they grew up with.


This is my first experience in watching Papermoon Puppet Theatre. And I know for sure, it won't be the last. I'm waiting for the next show, dear puppet master. Thank youGoethe Institut for making Mwathirika as part of Indonesia dan Dunia pada 1965's event. Kudos for Mwathirika!

Tentang Peluit Merah di mata Iman Purnama...


http://hariminggu.wordpress.com/2012/06/20/peluit-itu-merah-jenderal/


“Peluit Itu Merah, Jenderal…”

NAMANYA TUPU. Dia datang dari negeri boneka yang tidak dikenal. Bersama Moyo, Baba, Haki dan Lacuna – yang juga boneka – dia hidup tenang dan aman. Ayahnya, Haki, walau bertangan satu, adalah seorang laki-laki pekerja keras. Sementara kakaknya, Moyo, selalu siap menolong dan menghibur dirinya kapan dan di mana pun. Ketenangan dan ketentraman hidup mereka tidak banyak digambarkan lewat kata. Hanya gestur dan simbol yang sering mereka pakai.
Salah satu simbol yang digunakan adalah peluit merah. Benda kecil yang sering dipakai wasit dalam pertandingan sepakbola itu menggantung di leher mereka masing-masing. Ketika Tupu, misalnya, membutuhkan pertolongan karena diancam seekor anjing, dia tinggal meniup peluit merah sekencang-kencangnya, dan seketika Moyo langsung datang mengusir anjing tersebut. Peluit merah itu juga yang dipakai ketika Baba memanggil anak-anaknya untuk kembali pulang ke rumah setelah lelah bermain di luar.
Namun, semuanya berubah ketika suatu hari datang pasukan bersenjata berwajah burung. Mereka menghampiri rumah Baba yang berwarna merah, lalu membuat tanda segitiga merah di jendela. Tanda segitiga merah itu sederhana, namun seperti lazimnya sebuah tanda (atau simbol?), segitiga merah itu mengandung banyak makna dan arti.
Bagi Haki dan Lacuna yang tinggal berseberangan dan tidak dipasangi tanda segitiga merah, itu berarti mereka harus berhati-hati terhadap keluarga Baba. Keluarga Baba berarti “berbeda” dengan mereka. Haki dan Lacuna harus menjaga jarak, karena kalau dekat-dekat dengan keluarga Baba, berarti mereka harus siap kehilangan sesuatu yang berharga: nyawa.
Betul, walau Tupu sendiri masih bocah dan Moyo belum beranjak dewasa, Haki melarang Lacuna bermain-main dengan mereka. Lalu kehidupan yang semula rukun, tenang, aman dan tenteram itu pelan-pelan berubah. Semuanya tak lagi sama, hanya diakibatkan sebuah simbol segitiga merah yang tergambar di jendela – yang mungkin Moyo dan Tupu sendiri tidak tahu persis apa makna dan maksudnya.
Moyo dan Tupu hanya tahu bahwa setelah ada tanda segitiga merah di jendela, Ayah mereka dibawa pergi pasukan bersenjata berwajah burung dan tidak pernah kembali lagi. Moyo dan Tupu hanya tahu bahwa setelah ada tanda segitiga merah di jendela, kehidupan mereka menjadi susah dan seadanya.
Dan dalam keadaan seperti itu, mereka diam-diam rindukan Baba, si Ayah pekerja keras bertangan satu itu. Mereka terus menerus meniup peluit merah untuk memanggil-manggil si Ayah – seperti kebiasaan mereka dahulu — tapi Baba tidak pernah muncul lagi.
Kemudian Moyo berinisiatif mencari kabar tentang kemana Ayahnya pergi. Namun, di jalan dia bertemu dengan salah seorang pasukan berwajah burung. Melihat peluit merah tergantung di leher Moyo, pasukan berwajah burung itu pun langsung “mengangkut” Tupu, sama persis ketika mereka membawa Baba pergi. Lalu Tupu pun ikut menghilang.
Dan di sana, di jendela rumah yang bertanda segitiga merah, Tupu termenung; tidak mengerti kenapa orang-orang yang melindunginya terus menghilang. Pertama-tama Ayahnya, Baba, kemudian kakaknya, Moyo. Dan dalam keadaan seperti itu, Tupu terus menerus meniup peluit merah yang tergantung di leher. Hanya saja, jika dulu tiupannya keras dan melengking, maka kini tiupannya pelan dan lirih.
Barangkali Tupu bersiap menerima kenyataan pahit: dia tidak akan pernah bertemu ayah dan kakaknya lagi…
“Priiit…,” Tupu meniup peluit merah itu, sekali lagi.
*
Cerita tentang boneka-boneka lucu (tapi berwajah sedih) bernama Moyo, Tupu, Baba, Haki dan Lacuna tadi bukan karangan. Itu cuma secuil cerita pertunjukan teater boneka oleh Papermoon Puppet Theatre, 16 Juni 2012 kemarin. Bertempat di IFI (dulu CCF), mereka memainkan pentas berjudul “Mwathirika” yang dalam bahasa Swahili berarti “korban”. Memang, walaupun dibawakan oleh boneka-boneka lucu (tapi tetap berwajah sedih), pentasnya bercerita tentang korban Gerakan 30 September 1965 — sebuah peristiwa politik yang menghasilkan korban lebih banyak dibanding kemenangan yang diraih segelintir orang (baca: penguasa).
Bareng Ajeng, temen kampus yang mau diculik buat nemenin, saya nonton dengan antusias. Beberapa hari sebelumnya, dengar-dengar pentas itu bakal cerita tentang korban G30S. Wah, pasti rame nih, pikir saya waktu itu. Dan setelah selesai menonton, saya pun puas. Ajeng juga.
“Bagus ya, mereka nggak banyak pakai kata. Tapi kita tetep ngerti apa yang disampain,” kata dia pas jalan pulang. Saya pun meng-iyakan. Memang, di pertunjukan itu tidak banyak kata-kata yang dikeluarkan. Seingat saya, para boneka itu cuma mengeluarkan suara berupa erangan, isak, atau ekspresi-ekspresi verbal lainnya. Paling jauh hanya menyebut nama tokoh lain ketika memanggil.
Sehabis pertunjukan selesai, spontan beberapa penonton langsung standing ovation. Terharu. Memang itu adalah pertunjukan terakhir yang diselenggarakan di Bandung, setelah sebelumnya pentas di Jakarta tahun lalu (yang kabarnya sempat didemo oleh FPI). Menurut Maria Tri Sulistyani yang menjadi sutradara, mereka akan pentas di Amerika Serikat dalam beberapa waktu mendatang. Wah…
Ngomong-ngomong tentang Gerakan 30 September, saya sendiri lahir di tahun 1989. Jadi otomatis, waktu kecil saya tahu seputar gerakan itu yang versinya Orba, di mana ada embel-embel ‘PKI’ di belakangnya. Namun, ketika masuk SMP dan banyak belajar, ternyata sejarah seputar peristiwa itu memang banyak yang kontroversial.
Ada yang bilang kalau peristiwa itu didalangi oleh CIA. Ada juga yang bilang kalau penyebab utamanya adalah konflik internal di kalangan ABRI waktu itu. Ada juga yang menyebutkan kalau itu taktik konspirasi Soeharto mencapai kekuasaan. Dan banyak lagi teori dan analisis tentang peristiwa itu. Saya sendiri, walaupun tidak pernah disuruh bikin tugas meresensi film G30S yang tayang di TVRI (alhamdulillah!), pelan-pelan bisa mengerti kenapa kata ‘PKI’ terdengar begitu menakutkan di zaman Orba. Ya, propaganda terselubung yang dijalankan Orba itu bisa dikatakan “sukses”.
Namun, pertunjukan “Mwathirika” itu mengambil sudut pandang lain, yaitu sudut pandang korban. Seperti yang tertulis di pengantar pertunjukannya, “Mwathirika” tidak berbicara tentang siapa membunuh siapa, tapi bicara tentang adanya sejarah kehilangan (dan kehilangan sejarah) di dalam hidup. “Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang, dan mau pergi kemana di masa mendatang?”
Ya, saya kira itu betul. Lagi pula, siapa juga yang sanggup membunuh kenangan serta ingatan seseorang?
Juni 2012

mwathirika bagi Maradilla...

http://www.maradilla.com/home/index.php?option=com_content&view=article&id=60:masa-lalu-dan-mwathirika&catid=35:journal&Itemid=54


Masa Lalu dan Mwathirika

E-mailPrintPDF

Moyooo. Tupuu. Babaaa. Hakii. Lacunaa. Lima nama mewakili kata-kata yang tidak terucap. Ekspresi, gerakan kecil, musik yang sangat membangun imajinasi, hingga coretan tegas yang bergerak-gerak di layar pendukung mengambil alih peran dialog yang biasanya menjadi pendukung cerita. Hari itu, saya menonton Mwathirika, pertunjukkan boneka dari Papermoon Puppet Theatre. Setelah sempat cemas karena belum membeli tiket sebelumnya, hati ini langsung sumringah setelah Tarlen berbaik hati memberikan tiketnya pada saya.

Photobucket

Ketika mata melihat panggung yang diisi dengan instalasi dua rumah berwarna-warni dan dua boneka yang sedang duduk di kursi, entah mengapa saya langsung teringat Gondry dalam karyanya The Science of Sleep. Apalagi, ketika pertunjukkan dimulai, lirik kanan dan lirik kiri, dapat saya lihat mata-mata yang berbinar kagum melihat sesuatu yang janggal: rumah dengan mata yang bergerak-gerak seperti ulat, manusia-manusia penggerak boneka dengan jumpsuit berwarna gelap dan kain diikat ke kepala, Seakan manusia-manusia itu terkoneksi dengan para boneka melalui jantung yang sama. Semiotika berbicara.

Photobucket

Beberapa lama kemudian, air mata mulai menetes. Tissue saya tawarkan ke Sammaria. Semakin hanyut dengan kesedihan dan ketakutan Tupu yang ditinggal oleh keluarganya yang dibawa oleh TNI, Lacuna yang berusaha menghibur, Haki yang mencoba untuk melindungi Lacuna dengan mencari aman, ah saya tidak begitu peduli dengan unsur politis yang tidak begitu saya pahami, yang saya cerna adalah bangsa kita memiliki luka yang masih menganga, terkadang kering namun ada saja faktor yang mengoyak luka tersebut menjadi kembali basah karena kita tutup mata.

Photobucket

Tema "masa lalu" selalu menarik perhatian saya. Melawan lupa, sengaja lupa, pura-pura lupa, atau apapun usaha kita atas sejarah kelam yang melekat pada pribadi maupun bangsa kita menjadi sebuah tanda bahwa kelampauan, tidak dapat dihindari, menjadi hal yang membentuk kita di masa kini. Pertunjukkan selesai, dan hati ini lega melihat keberhasilan Maria Tri Sulistyani (anak Letkol TNI AU) dan Iwan Effendi (cucu dalang yang menjadi tahanan politik selama 13 tahun) untuk memilih bercerita dari pihak yang mana, ini menjadi bukti bahwa mereka adalah seniman yang memiliki sikap.

saat Mirza Adrian Merenungkan MWATHIRIKA

http://percikanrenungan.blogspot.com/2012/06/mwathirika-sebuah-lakon-tentang-cerita.html




Mwathirika
Sebuah Lakon Tentang Cerita Kehilangan dan Cerita yang Hilang
Mirza Adrian NP
Pembaca dan Penulis Amatir
Ketika kita membaca sejarah, kita dapat melihat kembali banyak peristiwa yang telah terjadi namun tidak akan lengkap, tidak akan penuh dan menyeluruh. Selalu ada bagian dalam sejarah yang tidak akan terbaca. Dari pembacaan tentang pergolakan revolusi Indonesia, contohnya, kita bisa menelusuri perkembangan perjuangan – kalah menang peperangan, perundingan, atau pidato-pidato tokoh. Tetapi pengalaman seorang spesifik individu – penderitaan, euphoria, atau ketakutan individu – tidak akan pernah tertulis di dalam buku sejarah. Hal ini disebabkan karena sejarah, pada dasarnya, adalah kumpulan dari beragam biografi yang telah melalui sebuah proses depersonalisasi. Sejarah adalah rangkaian peristiwa yang berpengaruh dalam perkembangan dunia dan manusia secara menyeluruh, bukan proses yang dilalui oleh individu di dalam prosesnya untuk ‘menjadi’. Cerita individu inilah yang tidak pernah tercantum di dalam sejarah – cerita mereka telah hilang ditelan oleh sejarah.

Selain proses kehilangan, sejarah juga mengalami proses penghilangan karena sejarah selalu menjadi hasil dari sebuah proyek penegakan status quo para pemenang untuk menegakkan rezim. Dalam penulisan sejarah yang demikian, kelompok pemenang akan menyingkirkan, atau bahkan menghilangkan sama sekali, kelompok yang kalah dari sejarah agar generasi di masa mendatang bisa mengetahui tentang “kebenaran” yang terjadi. Dalam proses ini, kejadian direkayasa agar terus mengikuti sudut pandang yang “benar” dan membunuh (secara nyata dan maya) sudut pandang yang “salah”. Pembacaan sejarah, pada akhirnya akan dilakukan melalui dokumen-dokumen yang “ada”. Pembacaan seperti ini mempunyai kemungkinan untuk terjerumus pada sudut pandang pemenang dan menenggelamkan cerita mereka yang kalah dari pengetahuan generasi mendatang. Cerita yang tampak di permukaan hanyalah cerita mereka yang menang.

Proses-proses “penyejarahan” kejadian telah memberikan jarak antara sejarah dan manusia yang tidak bisa dihilangkan melalui kajian sejarah. Tetapi untungnya, kita mempunyai alat lain dalam pembacaan sejarah: sastra. Sastra mempunyai keuntungan karena dia bersifat sangat dekat dan individual. Sebuah cerita, di dalam sastra, pasti merupakan cerita tentang seorang tokoh dan pergelutannya dengan dunia. Oleh karena itu, sastra mempunyai kemampuan untuk memanusiakan kembali sejarah, mengembalikan kejadian sebagai pengalaman dari sudut pandang yang subjektif dan personal. Selain itu, kebebasan sastra juga memungkinkan pengungkitan sudut pandang yang tadinya tenggelam (atau ditenggelamkan) oleh sejarah sehingga banyak cerita bisa terselamatkan.

Hal inilah yang dilakukan oleh Papermoon Puppet Theatre dalam lakonnya Mwathirika. Dalam lakon ini, Papermoon Theatre telah berhasil menyajikan dengan sangat baik sebuah cerita dari sudut pandang yang tak pernah terlihat dari sebuah fase sejarah yang tak pernah dibahas. Lakon minikata berdurasi 55 menit ini bercerita tentang perjalanan sepasang kakak beradik, Moyo dan Tupu, yang dibesarkan oleh ayahnya, Baba, seorang tua bertangan satu. Mereka tinggal bersebelahan dengan Haki dan anak perempuannya, Lacuna,  yang selalu duduk di kursi roda. Meskipun mereka bersebelahan, mereka berseberangan dalam warna: Baba berwarna merah dan Haki berwarna hijau. Kehidupan mereka damai dan harmonis, namun, seperti diucapkan Leon Trotsky, mereka yang ingin kehidupan yang damai telah membuat kesalahan dengan hidup di abad ke 20 – sebuah konflik politik menghasilkan keputusan untuk menghilangkan semua orang yang berwarna merah. Dalam konflik ini, segala yang merah adalah salah, termasuk peluit dan balon anak kecil sekalipun.

Keunikan dari lakon ini adalah aktornya berupa boneka yang digerakkan oleh sang dalang. Meskipun dalang tidak menyembunyikan diri mereka, perhatian kita tetap menuju ke boneka. Di atas panggung, dalang seakan menjadi sekedar bayangan dari boneka-boneka yang mereka mainkan. Kehebatan dari para dalang adalah kemampuan mereka untuk memberikan hidup kepada boneka yang mereka pegang. Di atas panggung, boneka-boneka yang dimainkan tidak hanya bergerak tapi juga mampu menyampaikan emosi dan perasaan melalui gerak tubuh – sebuah hal yang sulit untuk dicapai oleh teater mini kata yang dimainkan aktor manusia, terlebih lagi boneka. Sangat sulit untuk menggambarkan pengalaman menonton lakon in. Tapi, pengalaman itu bisa disimpulkan sebagai sebuah keberhasilan Papermoon Puppet Theatre untuk menghadirkan seni panggung dengan sangat baik.

Selain itu, dalam lakon Mwathirika, Papermoon Theatre juga telah berhasil memanusiakan kembali sejarah. Seperti dalang yang memberikan hidup kepada boneka yang mereka mainkan, mereka telah menghidupkan kembali sejarah. Memberikannya emosi dan perasaan yang tidak ada di buku sejarah. Emosi ini berhasil dihadirkan dari pengambilan sudut pandang cerita yang unik. Lakon ini mengambil sudut pandang Tupu, sudut pandang anak kecil yang polos dan murni, yang harus menjalani peristiwa yang berada di luar pemahamannya. Berawal dari kebahagian dan keamanan yang dialami oleh Tupu di awal cerita, lakon ini berkembang menjadi sebuah konflik akibat penahanan Ayah Tupu, Haki, oleh tentara akibat gambar segitiga merah di jendelanya. Setelah itu, Tupu dan Moyo harus menjalani kehidupan yang pelik berdua. Bahkan tetangga mereka pun tak mau membantu, entah karena ketakutan atau kefanatikan. Keadaan ini diperburuk dengan ditangkapnya Moyo karena peluit merah yang terkalung di lehernya. Dalam kebingungannya, Tupu mencoba memanggil kakaknya dengan meniup peluit yang ia miliki. Panggilannya, tentunya, tidak mendapat tanggapan. Tapi ,Tupu terus meniup peluitnya hingga akhir cerita.

Menurut penulis, bunyi peluit itu adalah bunyi yang sangat syahdu. Bunyi sayup peluit Tupu di dalam kepala saya menjelma bunyi sayup teriak mereka yang hilang dalam sejarah. Mereka yang telah dizalimi dan menuntut untuk diperhatikan. Mereka yang dibungkam dan mencoba berteriak dari balik bekaman tangan sejarah yang tidak memihak. Bunyi ini adalah suara lirih manusia yang sedang tersesat dalam pencarian akan kemanusiaan. Dan dengan resiko diperolok, penulis disini mengakui bahwa lakon ini telah berhasil membuat saya menangis – sesuatu yang sangat jarang terjadi. Karena ketika saya dihadapkan dengan manusia dan kemanusiaannya yang paling murni, tidak ada kata yang bisa saya keluarkan. Tidak ada logika berargumen atau kata-kata indah yang bisa menjawab pertemuan manusia dan kemanusiaannya. Menurut saya, tidak ada yang lebih bisa menggambarkan keindahan pertemuan manusia dan kemanusiaannya selain air mata.

mwathirika di mata PerempuanSore ...

http://perempuansore.blogspot.com/2012/06/mwathirika.html


Mwathirika






Saya hanyalah sebuah peluit. Tiup saya perlahan; siapa tahu suara saya bisa memecah kehilangan.

Tupu meniup saya membangunkan malam. Ia sengaja membunyikan saya supaya Moyo mendengarkan dan siapa tahu juga Baba mendengarkan. Suara saya terdengar lemah di keheningan malam. Memanggil lirih. Tak ada yang bangun. Tak ada yang peduli. Ada yang mendengar tapi mungkin memutuskan untuk pura-pura tidak dengar.

Gadis kecil di kursi roda lalu datang menghampiri Tupu. Namanya Lacuna. Ia ikat konde dua. Kotak musik mengalun pelan. Lacuna hendak memberikan kotak musik itu kepada Tupu. Mungkin bisa menghibur Tupu yang sedang sedih.

Tapi Tupu menolaknya dengan menggelengkan kepalanya perlahan. Sorot matanya sayu. Air matanya jatuh perlahan di pipi. Ia hendak mengatakan sesuatu kepada Lacuna. Seperti hanya sepotong kata “rindu” tapi ia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.

The Story of Loss. The Loss of History.

Balon merah yang terjatuh di pojok adalah saksi bisu. Mainan roda-rodaan yang pernah dibetulkan oleh Baba pun demikian. Ketika Tupu sendirian, saya sempat berpikir untuk memeluknya kencang. Atau mungkin mengajaknya pergi membeli es krim supaya rasa kehilangannya terobati. Atau mengajaknya bermain roda-rodaan. Sempat terbersit juga dalam kepala saya, kenapa Haki, tetangga sebelah, tidak datang hanya untuk sekedar menyelematkan Tupu. Tidak juga. Haki begitu tega, pikir saya.

Belum lagi Moyo yang tak pulang-pulang. Padahal antara Tupu dan Moyo ada saya. Saya peluit yang menghubungkan mereka berdua. Gara-gara saya Tupu pernah terhindar bahaya. Sekali saja. Dan kali ini saya merasa bersalah karena saya tidak bisa melakukan sesuatupun untuk Tupu.

Saya merasa tidak berguna. Ketika hanya tergantung di leher Tupu, saya tidak bisa berbuat apa. Ingin sekali saya berteriak meminta tolong kepada orang-orang di kampung untuk datang menolong. Tapi apalah daya saya.

Napas Tupu semakin lemah. Ia tidak lagi kuat menghembuskan napas. Ia terduduk lemas di antara malam. Dengan sekuat tenaga, Tupu mengerahkan sisa tenaganya. Mengepitkan bibirnya kepada saya. Mungkin inilah yang bisa saya lakukan, mengeluarkan bunyi saya untuk terakhir kalinya. Kepada siapapun yang mendengar. Semoga mereka bisa datang menolong.

5 4 3 2 1. Pelan-pelan saya menghitung dalam hati. Tidak ada orang yang datang. Tupu melepaskan bibirnya dari saya. Saya terjatuh lunglai di dadanya. Dengan lemah dan tangan-tangan kecilnya Tupu memeluk dirinya sendiri.

Malam semakin tua. Dalam dekapan Tupu. Dengan kepala yang tertunduk semakin dalam. Dalam hati saya berdoa: semoga Tupu tidak dengar ini. Saya peluit merah yang menangis. Pelan sekali.




*mencoba review, pertunjukan Mwathirika oleh papermoonpuppet pertunjukan keren yang sampai saat saya menulis cerita ini pun masih membuat saya tercekat dan merinding membayangkannya. Kamu harus nonton pertunjukannya, teman :)

Senin, 16 Juli 2012

MWATHIRIKA was captured by Tempo.com


http://www.tempo.co/read/beritafoto/2482/Ketika-Boneka-Mengisahkan-Tragedi-September-1965/5
















Mwathirika di Mata Mas Adi ...


SENIN, 18 JUNI 2012

Bukan Cuma Pinokio yang Hidup



Tupu tampak asyik sendiri. Mengenakan kupluk berkuping dan bergigi dua, Tupu tidak menyadari kehadiran seekor anjing abu-abu di dekatnya. Dia kaget begitu tahu posisi anjing sudah begitu dekat dari suara gonggongannya. Tupu berupaya menghalau anjing itu dengan mainannya.

Karena tidak berhasil, Tupu meniup peluit merah yang sehari-hari dia kalungkan di lehernya. Prittt, priiitt, priitt !!!
 

Moyo, sang kakak, keluar dari rumah dan membawa Tupu mendekat ke rumah. Anjing itu dia lempar dengan mainan Tupu. Usahanya berhasil, tapi Tupu menangis karena mainannya rusak.

Melihat adiknya sedih, Moyo pun berusaha menghiburnya. Kedekatan antara keduanya terlihat jelas saat Moyo berusaha merangkul adiknya. Pelan-pelan, Tupu melupakan tangisnya. Kegembiraan Tupu semakin menjadi saat Baba, sang ayah pulang dan membawakan balon merah untuknya.



Dekat rumah mereka tinggal Haki, yang memiliki seorang anak perempuan, Lacuna, yang selalu duduk di kursi roda. Sesekali Haki menyapa Tupu saat lewat di depan rumahnya. Mereka hidup berdampingan dengan mesra.
 
Tapi semua itu berubah drastis dalam waktu singkat. Haki tidak mau berdekatan dengan lagi dengan Baba yang hanya memiliki satu tangan itu. Perubahan itu akibat sebuah tanda segitiga merah di jendela rumah Baba.

Sejak ada tanda itu, Baba dibawa pergi oleh orang berseragam dan bersenjata. Dia tidak kunjung kembali. Moyo yang berusaha mencari ayahnya malah ikut dibawa orang bersenjata. Suara peluit yang ditiup Tupu tidak bisa membawa Moyo dan Baba kembali.

Itulah sebagian adegan dari pertunjukan teater boneka bertajuk Mwathirika yang dibawakan oleh Papermoon Puppet Theatre di Institut Francais Indonesia, Bandung, Jumat (15/6) kemarin. 

Boneka-boneka itu tidak bersuara. Yang ada hanya panggilan nama, selebihnya berkomunikasi dengan bahasa tubuh. “Boneka itu memang tidak ada pita suaranya, jadi lebih pada pergerakan. Gerak itu bahasa pertama manusia juga,” kata Iwan Effendi, salah seorang konseptor Papermoon Puppet Theatre.

Bersama istrinya, Maria Tri Sulistyani atau Ria yang menjadi sutradara pertunjukan ini, Iwan berhasil menghadirkan sebuah drama kehidupan soal kehilangan yang dialami oleh banyak orang.

Di bagian awal, mereka menampilkan teks di layar hitam yang menyatakan pertunjukan Mwathirika didedikasikan kepada korban dan anggota keluarga yang hilang pada September 1965 dan tragedi lainnya di dunia yang diakibatkan oleh gejolak politik.

Mwathirika, kata Ria, merupakan bahasa Swahili yang berarti korban dalam bahasa Indonesia. Moyo sendiri berarti hati, Tupu berarti kosong, Baba berarti ayah, dan Haki berarti benar. Nama Lacuna sendiri diambil dari bahasa Inggris yang berarti celah.

“Ini adalah sebuah kisah tentang adanya sejarah kehilangan di dalam hidup kita. Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa  lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang dan mau pergi ke mana di masa mendatang?” sebut Ria dalam katalog pementasan.

Iwan mengungkapkan, kisah yang mereka tampilkan itu banyak yang terinspirasi dari cerita orang-orang yang benar merasakan kepahitan akibat tragedi tahun 1965 lalu. “Kakek saya seorang dalang yang kemudian harus menjalani masa penahanan pada masa itu,” kenang dia. 



Adegan yang mereka ambil dari pengalaman nyata pada masa itu tergambar saat Moyo menangkap katak untuk bahan makanan bersama adiknya. Secara umum kisah ini sangat menyedihkan karena penonton dibawa ke dalam suasana kehilangan orang terdekat, terkasih, dan tercinta.

Tengok saja Haki yang tidak mau menyapa atau sekedar melihat tetangganya yang sudah dicap dengan tanda segitiga merah. Lacuna yang sehari-hari bermain dengan Tupu disuruh pulang dan tidak bergaul. Haki baru tahu soal kehilangan yang dialami Tupu, saat dia menemukan kursi roda Lacuna terguling berantakan.

Untuk mengingatkan pahitnya kehilangan akibat tragedi tersebut, Ria dan Iwan sengaja memilih media boneka. “Dengan boneka itu sepertinya orang-orang lebih bisa menerimanya, mungkin dianggap lucu sehingga mau memperhatikan dan kemudian larut dalam ceritanya,” ungkap Ria.

Boneka-boneka yang dibuat dengan cara papiermache atau melapisi kertas demi kertas itu mereka tampilkan di panggung dengan teknik bunraku dan kuruma ningyo. Kedua teknik itu berasal dari seni tradisi Jepang.

Bunraku merupakan teknik memainkan satu boneka tradisional secara bersama-sama oleh beberapa orang. Gerakan boneka terlihat hidup dan terasa bernyawa, lengkap dengan emosi yang tersalurkan dari pemainnya. Teknik kuruma ningyo adalah memainkan boneka yang sama sembari duduk di atas kursi beroda. Cara ini lebih efektif dibandingkan bunraku yang pemainnya lebih banyak.

“Kami latihannya sembari menghadap kaca, jadi semua pergerakan harus diperhitungkan,” terang Iwan yang mengawali karirnya sebagai pelukis.

Meski demikian, para pemain boneka ini juga kadang tampil sebagai bagian dari cerita. Saat manggung, mereka memakai topeng. Kadang sebagai anggota organisasi yang dicap segitiga merah, pemain sirkus, dan paling sering berlalu lalang sebagai tentara yang membawa Baba dan Moyo pergi untuk selamanya. 



Soal tidak adanya sosok ibu dalam Mwathirika, Ria dan Iwan sepakat, rasa kasih sayang dan hubungan emosional tidak dimonopoli oleh kaum ibu saja. Hal itu bisa juga terjadi antara ayah dengan anaknya atau adik dengan kakaknya. “Kalau ada sosok perempuan, kami khawatir dia yang jadi lebih emosional. Padahal semuanya juga bisa merasakan itu,” kata Ria yang sempat menjadi guru taman kanak-kanak ini.

Pertunjukan Mwathirika memang sederhana ceritanya. Tidak ada dialog, hanya pergerakan tubuh, ilustrasi musik, tayangan video, serta tata lampu. Tapi itu semua bisa menyampaikan kalau rasa kehilangan akibat sebuah gejolak politik hanya menjadikan semua orang sebagai korban. Baik di negeri ini, atau di bagian lain belahan bumi.-Adi Marsiela

*tulisan ini dimuat di Suara Pembaruan, edisi Senin, 18 Juni 2012.