Selasa, 21 Agustus 2012

Tentang Peluit Merah di mata Iman Purnama...


http://hariminggu.wordpress.com/2012/06/20/peluit-itu-merah-jenderal/


“Peluit Itu Merah, Jenderal…”

NAMANYA TUPU. Dia datang dari negeri boneka yang tidak dikenal. Bersama Moyo, Baba, Haki dan Lacuna – yang juga boneka – dia hidup tenang dan aman. Ayahnya, Haki, walau bertangan satu, adalah seorang laki-laki pekerja keras. Sementara kakaknya, Moyo, selalu siap menolong dan menghibur dirinya kapan dan di mana pun. Ketenangan dan ketentraman hidup mereka tidak banyak digambarkan lewat kata. Hanya gestur dan simbol yang sering mereka pakai.
Salah satu simbol yang digunakan adalah peluit merah. Benda kecil yang sering dipakai wasit dalam pertandingan sepakbola itu menggantung di leher mereka masing-masing. Ketika Tupu, misalnya, membutuhkan pertolongan karena diancam seekor anjing, dia tinggal meniup peluit merah sekencang-kencangnya, dan seketika Moyo langsung datang mengusir anjing tersebut. Peluit merah itu juga yang dipakai ketika Baba memanggil anak-anaknya untuk kembali pulang ke rumah setelah lelah bermain di luar.
Namun, semuanya berubah ketika suatu hari datang pasukan bersenjata berwajah burung. Mereka menghampiri rumah Baba yang berwarna merah, lalu membuat tanda segitiga merah di jendela. Tanda segitiga merah itu sederhana, namun seperti lazimnya sebuah tanda (atau simbol?), segitiga merah itu mengandung banyak makna dan arti.
Bagi Haki dan Lacuna yang tinggal berseberangan dan tidak dipasangi tanda segitiga merah, itu berarti mereka harus berhati-hati terhadap keluarga Baba. Keluarga Baba berarti “berbeda” dengan mereka. Haki dan Lacuna harus menjaga jarak, karena kalau dekat-dekat dengan keluarga Baba, berarti mereka harus siap kehilangan sesuatu yang berharga: nyawa.
Betul, walau Tupu sendiri masih bocah dan Moyo belum beranjak dewasa, Haki melarang Lacuna bermain-main dengan mereka. Lalu kehidupan yang semula rukun, tenang, aman dan tenteram itu pelan-pelan berubah. Semuanya tak lagi sama, hanya diakibatkan sebuah simbol segitiga merah yang tergambar di jendela – yang mungkin Moyo dan Tupu sendiri tidak tahu persis apa makna dan maksudnya.
Moyo dan Tupu hanya tahu bahwa setelah ada tanda segitiga merah di jendela, Ayah mereka dibawa pergi pasukan bersenjata berwajah burung dan tidak pernah kembali lagi. Moyo dan Tupu hanya tahu bahwa setelah ada tanda segitiga merah di jendela, kehidupan mereka menjadi susah dan seadanya.
Dan dalam keadaan seperti itu, mereka diam-diam rindukan Baba, si Ayah pekerja keras bertangan satu itu. Mereka terus menerus meniup peluit merah untuk memanggil-manggil si Ayah – seperti kebiasaan mereka dahulu — tapi Baba tidak pernah muncul lagi.
Kemudian Moyo berinisiatif mencari kabar tentang kemana Ayahnya pergi. Namun, di jalan dia bertemu dengan salah seorang pasukan berwajah burung. Melihat peluit merah tergantung di leher Moyo, pasukan berwajah burung itu pun langsung “mengangkut” Tupu, sama persis ketika mereka membawa Baba pergi. Lalu Tupu pun ikut menghilang.
Dan di sana, di jendela rumah yang bertanda segitiga merah, Tupu termenung; tidak mengerti kenapa orang-orang yang melindunginya terus menghilang. Pertama-tama Ayahnya, Baba, kemudian kakaknya, Moyo. Dan dalam keadaan seperti itu, Tupu terus menerus meniup peluit merah yang tergantung di leher. Hanya saja, jika dulu tiupannya keras dan melengking, maka kini tiupannya pelan dan lirih.
Barangkali Tupu bersiap menerima kenyataan pahit: dia tidak akan pernah bertemu ayah dan kakaknya lagi…
“Priiit…,” Tupu meniup peluit merah itu, sekali lagi.
*
Cerita tentang boneka-boneka lucu (tapi berwajah sedih) bernama Moyo, Tupu, Baba, Haki dan Lacuna tadi bukan karangan. Itu cuma secuil cerita pertunjukan teater boneka oleh Papermoon Puppet Theatre, 16 Juni 2012 kemarin. Bertempat di IFI (dulu CCF), mereka memainkan pentas berjudul “Mwathirika” yang dalam bahasa Swahili berarti “korban”. Memang, walaupun dibawakan oleh boneka-boneka lucu (tapi tetap berwajah sedih), pentasnya bercerita tentang korban Gerakan 30 September 1965 — sebuah peristiwa politik yang menghasilkan korban lebih banyak dibanding kemenangan yang diraih segelintir orang (baca: penguasa).
Bareng Ajeng, temen kampus yang mau diculik buat nemenin, saya nonton dengan antusias. Beberapa hari sebelumnya, dengar-dengar pentas itu bakal cerita tentang korban G30S. Wah, pasti rame nih, pikir saya waktu itu. Dan setelah selesai menonton, saya pun puas. Ajeng juga.
“Bagus ya, mereka nggak banyak pakai kata. Tapi kita tetep ngerti apa yang disampain,” kata dia pas jalan pulang. Saya pun meng-iyakan. Memang, di pertunjukan itu tidak banyak kata-kata yang dikeluarkan. Seingat saya, para boneka itu cuma mengeluarkan suara berupa erangan, isak, atau ekspresi-ekspresi verbal lainnya. Paling jauh hanya menyebut nama tokoh lain ketika memanggil.
Sehabis pertunjukan selesai, spontan beberapa penonton langsung standing ovation. Terharu. Memang itu adalah pertunjukan terakhir yang diselenggarakan di Bandung, setelah sebelumnya pentas di Jakarta tahun lalu (yang kabarnya sempat didemo oleh FPI). Menurut Maria Tri Sulistyani yang menjadi sutradara, mereka akan pentas di Amerika Serikat dalam beberapa waktu mendatang. Wah…
Ngomong-ngomong tentang Gerakan 30 September, saya sendiri lahir di tahun 1989. Jadi otomatis, waktu kecil saya tahu seputar gerakan itu yang versinya Orba, di mana ada embel-embel ‘PKI’ di belakangnya. Namun, ketika masuk SMP dan banyak belajar, ternyata sejarah seputar peristiwa itu memang banyak yang kontroversial.
Ada yang bilang kalau peristiwa itu didalangi oleh CIA. Ada juga yang bilang kalau penyebab utamanya adalah konflik internal di kalangan ABRI waktu itu. Ada juga yang menyebutkan kalau itu taktik konspirasi Soeharto mencapai kekuasaan. Dan banyak lagi teori dan analisis tentang peristiwa itu. Saya sendiri, walaupun tidak pernah disuruh bikin tugas meresensi film G30S yang tayang di TVRI (alhamdulillah!), pelan-pelan bisa mengerti kenapa kata ‘PKI’ terdengar begitu menakutkan di zaman Orba. Ya, propaganda terselubung yang dijalankan Orba itu bisa dikatakan “sukses”.
Namun, pertunjukan “Mwathirika” itu mengambil sudut pandang lain, yaitu sudut pandang korban. Seperti yang tertulis di pengantar pertunjukannya, “Mwathirika” tidak berbicara tentang siapa membunuh siapa, tapi bicara tentang adanya sejarah kehilangan (dan kehilangan sejarah) di dalam hidup. “Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang, dan mau pergi kemana di masa mendatang?”
Ya, saya kira itu betul. Lagi pula, siapa juga yang sanggup membunuh kenangan serta ingatan seseorang?
Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar