Senin, 16 Juli 2012
Mwathirika di Mata Mas Adi ...
SENIN, 18 JUNI 2012
Bukan Cuma Pinokio yang Hidup
Tupu tampak asyik sendiri. Mengenakan kupluk berkuping dan bergigi dua, Tupu tidak menyadari kehadiran seekor anjing abu-abu di dekatnya. Dia kaget begitu tahu posisi anjing sudah begitu dekat dari suara gonggongannya. Tupu berupaya menghalau anjing itu dengan mainannya.
Karena tidak berhasil, Tupu meniup peluit merah yang sehari-hari dia kalungkan di lehernya. Prittt, priiitt, priitt !!!
Moyo, sang kakak, keluar dari rumah dan membawa Tupu mendekat ke rumah. Anjing itu dia lempar dengan mainan Tupu. Usahanya berhasil, tapi Tupu menangis karena mainannya rusak.
Melihat adiknya sedih, Moyo pun berusaha menghiburnya. Kedekatan antara keduanya terlihat jelas saat Moyo berusaha merangkul adiknya. Pelan-pelan, Tupu melupakan tangisnya. Kegembiraan Tupu semakin menjadi saat Baba, sang ayah pulang dan membawakan balon merah untuknya.
Dekat rumah mereka tinggal Haki, yang memiliki seorang anak perempuan, Lacuna, yang selalu duduk di kursi roda. Sesekali Haki menyapa Tupu saat lewat di depan rumahnya. Mereka hidup berdampingan dengan mesra.
Tapi semua itu berubah drastis dalam waktu singkat. Haki tidak mau berdekatan dengan lagi dengan Baba yang hanya memiliki satu tangan itu. Perubahan itu akibat sebuah tanda segitiga merah di jendela rumah Baba.
Sejak ada tanda itu, Baba dibawa pergi oleh orang berseragam dan bersenjata. Dia tidak kunjung kembali. Moyo yang berusaha mencari ayahnya malah ikut dibawa orang bersenjata. Suara peluit yang ditiup Tupu tidak bisa membawa Moyo dan Baba kembali.
Itulah sebagian adegan dari pertunjukan teater boneka bertajuk Mwathirika yang dibawakan oleh Papermoon Puppet Theatre di Institut Francais Indonesia, Bandung, Jumat (15/6) kemarin.
Boneka-boneka itu tidak bersuara. Yang ada hanya panggilan nama, selebihnya berkomunikasi dengan bahasa tubuh. “Boneka itu memang tidak ada pita suaranya, jadi lebih pada pergerakan. Gerak itu bahasa pertama manusia juga,” kata Iwan Effendi, salah seorang konseptor Papermoon Puppet Theatre.
Bersama istrinya, Maria Tri Sulistyani atau Ria yang menjadi sutradara pertunjukan ini, Iwan berhasil menghadirkan sebuah drama kehidupan soal kehilangan yang dialami oleh banyak orang.
Di bagian awal, mereka menampilkan teks di layar hitam yang menyatakan pertunjukan Mwathirika didedikasikan kepada korban dan anggota keluarga yang hilang pada September 1965 dan tragedi lainnya di dunia yang diakibatkan oleh gejolak politik.
Mwathirika, kata Ria, merupakan bahasa Swahili yang berarti korban dalam bahasa Indonesia. Moyo sendiri berarti hati, Tupu berarti kosong, Baba berarti ayah, dan Haki berarti benar. Nama Lacuna sendiri diambil dari bahasa Inggris yang berarti celah.
“Ini adalah sebuah kisah tentang adanya sejarah kehilangan di dalam hidup kita. Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang dan mau pergi ke mana di masa mendatang?” sebut Ria dalam katalog pementasan.
Iwan mengungkapkan, kisah yang mereka tampilkan itu banyak yang terinspirasi dari cerita orang-orang yang benar merasakan kepahitan akibat tragedi tahun 1965 lalu. “Kakek saya seorang dalang yang kemudian harus menjalani masa penahanan pada masa itu,” kenang dia.
Adegan yang mereka ambil dari pengalaman nyata pada masa itu tergambar saat Moyo menangkap katak untuk bahan makanan bersama adiknya. Secara umum kisah ini sangat menyedihkan karena penonton dibawa ke dalam suasana kehilangan orang terdekat, terkasih, dan tercinta.
Tengok saja Haki yang tidak mau menyapa atau sekedar melihat tetangganya yang sudah dicap dengan tanda segitiga merah. Lacuna yang sehari-hari bermain dengan Tupu disuruh pulang dan tidak bergaul. Haki baru tahu soal kehilangan yang dialami Tupu, saat dia menemukan kursi roda Lacuna terguling berantakan.
Untuk mengingatkan pahitnya kehilangan akibat tragedi tersebut, Ria dan Iwan sengaja memilih media boneka. “Dengan boneka itu sepertinya orang-orang lebih bisa menerimanya, mungkin dianggap lucu sehingga mau memperhatikan dan kemudian larut dalam ceritanya,” ungkap Ria.
Boneka-boneka yang dibuat dengan cara papiermache atau melapisi kertas demi kertas itu mereka tampilkan di panggung dengan teknik bunraku dan kuruma ningyo. Kedua teknik itu berasal dari seni tradisi Jepang.
Bunraku merupakan teknik memainkan satu boneka tradisional secara bersama-sama oleh beberapa orang. Gerakan boneka terlihat hidup dan terasa bernyawa, lengkap dengan emosi yang tersalurkan dari pemainnya. Teknik kuruma ningyo adalah memainkan boneka yang sama sembari duduk di atas kursi beroda. Cara ini lebih efektif dibandingkan bunraku yang pemainnya lebih banyak.
“Kami latihannya sembari menghadap kaca, jadi semua pergerakan harus diperhitungkan,” terang Iwan yang mengawali karirnya sebagai pelukis.
Meski demikian, para pemain boneka ini juga kadang tampil sebagai bagian dari cerita. Saat manggung, mereka memakai topeng. Kadang sebagai anggota organisasi yang dicap segitiga merah, pemain sirkus, dan paling sering berlalu lalang sebagai tentara yang membawa Baba dan Moyo pergi untuk selamanya.
Soal tidak adanya sosok ibu dalam Mwathirika, Ria dan Iwan sepakat, rasa kasih sayang dan hubungan emosional tidak dimonopoli oleh kaum ibu saja. Hal itu bisa juga terjadi antara ayah dengan anaknya atau adik dengan kakaknya. “Kalau ada sosok perempuan, kami khawatir dia yang jadi lebih emosional. Padahal semuanya juga bisa merasakan itu,” kata Ria yang sempat menjadi guru taman kanak-kanak ini.
*tulisan ini dimuat di Suara Pembaruan, edisi Senin, 18 Juni 2012.
MWATHIRIKA di Mata Airmailtoposeidon..
TUESDAY, JUNE 19, 2012
Mengintip Jendela Dunia Mwathirika
Sempat getir tidak mendapatkan tiket ... beruntung saya mendapatkan kursi waiting list yang konon pemiliknya tak kunjung datang sampai detik akhir pertunjukan dimulai. Sempat membaca beberapa artikel dan informasi di beberapa media on line serta berita mulut ke mulut dari teman-teman mengenai kelompok teater ini membuat saya merasa penasaran, tapi baru kali saya berkesempatan untuk menyaksikan langsung pertunjukan mereka di Bandung.
Papermoon puppet theater adalah sekelompok muda-mudi dari kota Jogja berada dibalik semua ini. Menggabungkan pendekatan artistik seni rupa dengan pementasan teater boneka penuh bahasa gesture yang atraktif. Musik kontemporer yang digarap dengan apik, dari epic, ambience sampai beat-beat trip hop mampu menggiring rasa dan mengaduk emosi para penonton. Juga suguhan bahasa visual dari video art yang tidak sekedar menjadi backdrop tetapi juga turut bertutur. Segar, menghibur namun tidak enteng, rasanya tidaklah terlalu sulit untuk 'mengunyah' pesan yang ingin disampaikan dalam cerita berjudul "Mwathirika" ini. Di ruangan yang hanya dibatasi sekitar kurang dari 100 orang penonton, pertunjukan teater ini begitu cair, tanpa batasan 'panggung' dimana para boneka (puppet) dan puppeteers (pemain boneka) berada sangat dekat dengan penonton, mengundang kita untuk masuk ke dalam dunia "Mwathirika".
Diambil dari bahasa Swahili, suku dari Afrika timur, Mwathirika memiliki arti kata korban. Berseting tahun 1965, cerita ini bertutur tentang kehidupan sebuah keluarga tanpa sosok ibu, yaitu Ayah (Baba) dan dua orang anak (Tupu dan Moyo). Diseberang dimana mereka tinggal terdapat sebuah rumah yang dihuni oleh sosok ayah (Haki) dan anak perempuan semata wayangnya bernama Lacuna. Kehidupan dua bertetangga ini baik-baik saja sampai terjadi eskalasi politik ditingkatan elite penguasa yang menyebabkan keluarga Baba (tanpa mereka ketahui) harus menanggung akibatnya. Membawa kita kepada retrospeksi sejarah masa lalu negeri ini yang pernah mempunyai lembaran kelam.
Tanpa dialog, dipandu oleh gerak lincah bahasa tubuh dan isyarat tangan dari para boneka, sesekali bunyi panggilan nama, menarik konsentrasi penonton untuk mengikuti alur cerita, sangat sulit untuk tidak fokus pada apa yang terjadi di 'panggung'. Yang paling sangat saya ingat (mungkin berkesan bagi saya) adalah adegan time lapse yang menggambarkan dimana ketika Moyo dan Tupu dari malam ke malam, hari ke hari dan waktu ke waktu menunggu sosok sang ayah (Baba) yang tidak kunjung kembali ke rumah, setelah 'dijemput' oleh tentara-tentara berwajah burung nazar. Time lapse yang umum digunakan di dunia fotografi dan sinematografi ini begitu subtil dan renyah diterjemahkan kedalam lakon boneka, ditunjang oleh latar video visual, tata cahaya dan musik yang membawa penonton seolah-olah ikut merasakan perjalanan waktu penuh penantian dan ketidakjelasan.
Bagi saya drama satire ini sukses secara keseluruhan, saya diajak untuk terus menerus ingin tahu kejutan apa yang akan terjadi pada setiap adegannya. Tanpa dipenuhi properti-properti yang extravaganza, penata artistik dan sutradara begitu cermat mengakali ruang, sehingga tanpa narasi pun, perpindahan setting dari adegan ke adegan akan mudah dikenali. Hanya satu yang mengganjal di penghujung cerita, mengapa rumah Baba berubah menjadi rumah/bangunan penuh dengan lambang-lambang mekanisasi, kemudian adegan didalam rumah/bangunan tersebut para tentara berwajah burung nazar bergerak seperti mesin, membubuhkan 'topi segitiga merah' pada boneka-boneka dari dalam kotak. Dua adegan simbolisasi tadi seperti diletakan oleh sutradara sebagai penutup untuk membuka ruang dialog atau intepretasi seluas mungkin dan mengajak penonton untuk mencari jawaban dari refleksi dikeseharian kita. Ditutup oleh tepuk tangan meriah dan standing applaus dari penonton, decak kagum atas kreatifitas dan eksekusi teater boneka ini memang pantas mendapatkan apresiasi.
Diambil dari bahasa Swahili, suku dari Afrika timur, Mwathirika memiliki arti kata korban. Berseting tahun 1965, cerita ini bertutur tentang kehidupan sebuah keluarga tanpa sosok ibu, yaitu Ayah (Baba) dan dua orang anak (Tupu dan Moyo). Diseberang dimana mereka tinggal terdapat sebuah rumah yang dihuni oleh sosok ayah (Haki) dan anak perempuan semata wayangnya bernama Lacuna. Kehidupan dua bertetangga ini baik-baik saja sampai terjadi eskalasi politik ditingkatan elite penguasa yang menyebabkan keluarga Baba (tanpa mereka ketahui) harus menanggung akibatnya. Membawa kita kepada retrospeksi sejarah masa lalu negeri ini yang pernah mempunyai lembaran kelam.
Moyo, Tupu dan Lacuna |
Tanpa dialog, dipandu oleh gerak lincah bahasa tubuh dan isyarat tangan dari para boneka, sesekali bunyi panggilan nama, menarik konsentrasi penonton untuk mengikuti alur cerita, sangat sulit untuk tidak fokus pada apa yang terjadi di 'panggung'. Yang paling sangat saya ingat (mungkin berkesan bagi saya) adalah adegan time lapse yang menggambarkan dimana ketika Moyo dan Tupu dari malam ke malam, hari ke hari dan waktu ke waktu menunggu sosok sang ayah (Baba) yang tidak kunjung kembali ke rumah, setelah 'dijemput' oleh tentara-tentara berwajah burung nazar. Time lapse yang umum digunakan di dunia fotografi dan sinematografi ini begitu subtil dan renyah diterjemahkan kedalam lakon boneka, ditunjang oleh latar video visual, tata cahaya dan musik yang membawa penonton seolah-olah ikut merasakan perjalanan waktu penuh penantian dan ketidakjelasan.
Bagi saya drama satire ini sukses secara keseluruhan, saya diajak untuk terus menerus ingin tahu kejutan apa yang akan terjadi pada setiap adegannya. Tanpa dipenuhi properti-properti yang extravaganza, penata artistik dan sutradara begitu cermat mengakali ruang, sehingga tanpa narasi pun, perpindahan setting dari adegan ke adegan akan mudah dikenali. Hanya satu yang mengganjal di penghujung cerita, mengapa rumah Baba berubah menjadi rumah/bangunan penuh dengan lambang-lambang mekanisasi, kemudian adegan didalam rumah/bangunan tersebut para tentara berwajah burung nazar bergerak seperti mesin, membubuhkan 'topi segitiga merah' pada boneka-boneka dari dalam kotak. Dua adegan simbolisasi tadi seperti diletakan oleh sutradara sebagai penutup untuk membuka ruang dialog atau intepretasi seluas mungkin dan mengajak penonton untuk mencari jawaban dari refleksi dikeseharian kita. Ditutup oleh tepuk tangan meriah dan standing applaus dari penonton, decak kagum atas kreatifitas dan eksekusi teater boneka ini memang pantas mendapatkan apresiasi.
MWATHIRIKA di mata Flyingfairy..
-
The power of love…
Terdengar klise dan terkadang sukar dipercaya, tapi saya termasuk tipe orang yang percaya bahwa meskipun cinta merupakan sesuatu yang abstrak wujudnya, namun cinta memiliki kekuatan yang besar dan tidak disangka-sangka.Bagi saya, jika di hari Jumat dan Sabtu tanggal 15-16 Juni 2012, kelompok Papermoon Puppet dari Yogyakarta akhirnya bisa pentas di kota Bandung tercinta, itupun terjadi berkat cinta. Cinta para pengkarya Papermoon terhadap apa yang mereka kerjakan dan realisasikan, cinta para penggemar dan penonton yang ingin menyaksikan sebuah dunia yang indah luar biasa, cinta para petinggi yang berkepentingan akan sebuah pertunjukan yang berkualitas, dan cinta-cinta lainnya yang mengambang dinamis di udara yang kita hirup sehari-hari.Yah, itulah sekilas tentang cinta..dan memang karena alasan cinta itu pulalah yang membawa saya datang ke gedung IFI di Jumat malam kemarin untuk menyaksikan kelompok puppet yang paling saya cintai bermain di kota tercinta yang saya tinggali. Tiket sudah saya kantongi dengan aman semenjak kurang lebih dua minggu sebelumnya, setelah ditemani sang pria tercinta yang menyempatkan diri membonceng saya dengan motornya ke Tobucil, tempat penjualan tiket Papermoon.Saya pergi bersama Chike (sesama penggemar Papermoon semenjak sama-sama bertemu pertama kali di Tembi, Yogya), mamanya Chike, dan Yesi, temannya Chike. Berbekal semangat tinggi, kami pun sampai ketika jam masih menunjukan angka 6.30. Datang lebih awal tapi tak menyesal, itulah yang kami rasakan semalam. Setelah menukar tiket di meja panjang, kami jalan-jalan, duduk, ngobrol, melihat-lihat souvenir, ngintip-ngintip ke ruangan kaca tempat para kru Papermoon sedang makan malam. Kami juga bertemu dengan Mbak Caroline dan Claudine, duo guru dari Semi Palar yang kami kenal ketika sama-sama mengikuti workshop bulan Maret lalu.Menunggu sekitar satu jam tidak terasa membosankan. Sekitar 15 menit sebelum pukul 7.30, kami sudah nongkrong cantik di depan pintu auditorium. Rasanya tidak sabar menunggu pintu dibuka. Tak lama kemudian kami diijinkan masuk. Para penonton pun masuk dengan semangat tinggi, yang lucu meskipun barisan kami acak-acakan dan semi rebut-rebutan namun adegan masuk ke ruangan auditorium itu berjalan dengan tertib dan damai. Ah…mungkin hati setiap orang saat itu sedang dipenuhi cinta yang menggebu-gebu…hehehe….Kami pun memilih tempat duduk secara bebas. Eh..ternyata kami diijinkan untuk duduk santai lesehan di bagian bawah, depan panggung. Tentu saja kesempatan ini kami gunakan dengan baik untuk memilih tempat duduk sedepan dan sedekat mungkin dengan panggung. Saat itu juga kami bertemu dengan Mbak Dan, teman lain sesama peserta workshop.Tidak lama, Mbak Ria muncul di panggung memberikan sambutan singkat dan santai. Kemudian lampu panggung meredup dan mulailah kami semua memasuki dunia Mwathirika.Mwathirika yang kami temui 2 tahun lalu adalah Mwathirika yang bercerita melalui properti yang dipamerkannya. 2 tahun lalu, saya menangkap kesan bahwa Mwathirika adalah sebuah cerita mengenai sejarah yang hilang, yang tidak terungkapkan secara besar-besaran yang diperlihatkan dalam kisah yang menarik dan tokoh yang mengagumkan.Namun malam kemarin, menyaksikan secara langsung selama 55 menit sebuah lakon berjudul Mwathirika, saya menangkap banyak kesan lain di dalamnya. Mwathirika bagi saya malam kemarin bukan lagi hanya sebuah cerita mengenai sejarah yang hilang. Mwathirika malam kemarin sanggup membawa saya ke dalam sebuah dunia yang betul-betul nyata, sebuah kisah yang tidak semua orang tahu, sebuah kenyataan yang dianggap kecil dan mungkin dilupakan oleh banyak orang namun betul terjadi, sebuah cinta yang mengalami suatu masa namun terlupa karena kita seringkali lebih fokus pada apa yang diekspos besar-besaran melalui mata dan telinga kita.Saya tidak ingin menjadi spoiler dalam post ini..jadi saya tidak akan bertutur mengenai jalan cerita dalam Mwathirika. Namun yang pasti menonton Mwathirika membuat saya terhanyut ke dalam suatu dunia, turut bergembira dan bersukaria lepas ala anak kecil bersama Tupu dan Moyo, takut ketika para tentara berparas burung menghampiri, dan sedih ketika Baba tak lagi ada.Para pemain dari Papermoon pun membuat saya salut dan jatuh cinta. Mereka begitu menyatu dengan para boneka ketika menuturkan kisah Mwathirika ini. Mereka bukan hanya penggerak boneka yang kaku, namun mereka dan boneka adalah kesatuan emosi yang membuat setiap orang yang menyaksikannya mudah berempati mengenai apa yang terjadi di hadapan kita dan apa yang para tokoh rasakan dalam cerita ini. Ekspresi para pemain dari Papermoon, suara-suara ketika mereka saling memanggil nama, tertawa kesenangan, meniup peluit dengan lirih, bergerak dalam berkisah, kesemuanya itu menyatu menjadikan sebuah pertunjukan dengan alur mengalir yang begitu menghanyutkan bagi setiap orang yang menontonnya.Maka seperti cinta sejati yang akan terus berkembang seiring berjalannya waktu, begitu pulalah cinta saya terhadap genk Papermoon ini semakin berkembang. Mwathirika telah mengisahkan sebuah dunia yang pedih namun tidak terlepas dari cinta, dan pertunjukan dari Papermoon ini juga telah mempertunjukan sebuah cinta yang kuat antara para pemain dan bonekanya. Saya sebagai penonton yang menjadi saksi cinta ini pun turut larut dalam rasa cinta yang hadir begitu manis di depan mata.Sukses terus untuk Papermoon yang akan pentas lagi malam ini, akan bertandang di Amerika bulan-bulan depan, dan untuk setiap project yang akan terus ada di masa depan. Amin !Terima kasih Papermoon, untuk sebuah cinta yang begitu indah. Teruslah berkarya yang semakin dan semakin baik lagi (amin)ps : Terima kasih juga untuk sepasang manusia yang (pastinya) dipenuhi cinta satu sama lain —Mas Iwan Effendi n Mbak Ria— kehangatan dan senyuman kalian kepada para penonton setiap pentas, latihan, dan workshop selalu menghangati hati kami. Viva! Viva! :)
MWATHIRIKA disesap si Kopi Keliling...
Teater Boneka Mwathirika
Monday, 25 June 2012
By Kopling
“Kehilangan adalah proses awal menemukan.” ~Djenar Maesa Ayu.
Hari Jumat dan Sabtu (15-16 Juni) kemarin Papermoon Puppet Theatre kembali mengadakan pertunjukan Mwathirika untuk yang kesekian kalinya, kali ini mengambil tempat di IFI, Bandung. Teater boneka yang digagas oleh Maria Tri Sulistyani dan kemudian dibesarkan bersama Iwan Effendi ini gaungnya memang sudah terdengar cukup luas. Berbekal pendanaan dari Yayasan Kelola dan dukungan para penggemar yang selalu setia menyaksikan pertunjukannya. Papermoon Puppet Theatre telah mengadakan (dan masih akan terus melakukan) workshop dan pementasan ke berbagai wilayah di Indonesia bahkan luar negeri seperti Jepang, Korea, dan Amerika. Bulan September ini rencananya mereka akan berangkat untuk menggelar pentas Mwathirika di Amerika Serikat.
Sabtu itu, ruang auditorium IFI yang berkapasitas 300 orang dipenuhi oleh pengunjung yang datang untuk menyaksikan Mwathirika. Tiket seharga 30ribu per orang pun habis terjual. Mwathirika, yang dalam bahasa Swahili berarti “korban” berangkat dari sejarah abu-abu bangsa Indonesia puluhan tahun yang lalu, di mana saat itu (dan mungkin masih terjadi sampai saat ini) banyak sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah. Sejarah kekejaman politik untuk menghilangkan dan melenyapkan orang yang dianggap mengganggu stabilitas, dan kenyataannya tidak pernah jelas terungkap.
“Panggung Mwathirika dibuka dengan penggambaran sebuah keluarga bahagia yang terdiri dari seorang ayah bertangan satu bernama Baba dan kedua puteranya, Moyo dan Tupu. Mereka hidup rukun dan bertetangga dengan seorang ayah bernama Haki yang tinggal bersama Lacuna, puteri semata wayang yang duduk di kursi roda. Sehari-hari mereka saling bercengkerama satu sama lain hingga pada suatu saat terjadi pergolakan di daerah mereka dan situasi tidak lagi sama. Rumah Baba tercoreng oleh tanda segitiga merah yang menjadikannya tahanan pemerintah, meninggalkan Moyo dan Tupu yang masih kecil untuk terpaksa hidup mandiri. Haki yang hanya memiliki Lacuna memilih untuk tidak berurusan sama sekali dengan keluarga Baba dan memaksa puterinya yang berhati lembut untuk melakukan hal yang sama.
Didera kebingungan akan ayahnya yang tak kunjung kembali, Moyo pun tergerak untuk mencari Baba, yang berujung pada penangkapan dirinya oleh tentara yang sama. Tupu yang akhirnya sebatang kara terus menunggu kedatangan kedua anggota keluarganya sambil sesekali meniupkan peluit yang terdengar seperti teriakan pilu seorang anak kecil yang merindukan pelukan ayah dan kakaknya…”
Sepanjang 55 menit pertunjukan berlangsung, tidak ada kata-kata yang terucap. Kita hanya menyaksikan gerak tubuh para boneka disertai alunan musik dan potongan video yang membuat para boneka itu menjadi hidup. Kita dapat merasakan seolah boneka itu bergerak sendiri, bukan digerakkan oleh dalang.
Cerita Mwathirika sebenarnya cukup sederhana tapi sangat menyentuh. Semua karakter yang dimainkan terasa sangat wajar dan tidak berlebihan, karena memang seperti itulah sifat-sifat orang yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kita dihanyutkan ke dalam perasaan seorang Tupu kecil yang harus dihadapkan dengan kehilangan besar karena suatu hal yang belum ia pahami saat itu, kekejaman politik. Lalu, bagaimana ikatan bertetangga yang rukun pun tidak bisa membantu ketika kita dihadapkan pada situasi sulit. Kebanyakan orang pasti akan memilih untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dulu. Itu wajar, memang. Tidak sedikit para penonton yang pipinya basah setelah pertunjukkan selesai, bahkan ada yang mengaku sudah mulai menyeka air mata sejak menit ke-5.
Pertunjukkan ini tidak berbicara tentang suatu pihak tertentu tapi hanya ingin menggambarkan tentang sejarah kehilangan, karena mungkin banyak dari kita yang tidak peduli dengan atau ingin melupakan sejarah kelam. Mengutip dari tulisan Djenar Maesa Ayu, “Kehilangan adalah proses awal menemukan”, jadi sebenarnya sejarah kehilangan bukanlah untuk dihilangkan atau dilupakan, tapi untuk ditelusuri.
Sama halnya dengan sejarah yang hilang, sering sekali kita menjumpai kreasi hebat karya anak bangsa yang namanya kurang atau bahkan tidak dikenal di negeri sendiri, padahal banyak dari mereka yang sangat dihargai di luar sana. Pemerintah pun seolah tutup mata akan kekayaan SDM Indonesia yang berprestasi ini, entah karena merasa pengaruh mereka tidak begitu signifikan, atau mungkin karena urusan lain yang lebih penting sudah menyita waktu terlalu banyak. Tapi, pada akhirnya semuanya berada di tangan kita. Selama kita terus berkreasi dan yakin bahwa apa yang kita lakukan benar, pasti akan banyak uluran tangan yang mau membantu kita, baik secara materiil maupun moral dari teman-teman yang apresiatif.
Artikel oleh: @Patipatigulipat
Mwathirika dibaca Secerahati ..
Diposting oleh nita pada Jun 22, '12 11:11 AM untuk semuanya
Malam itu kami menikmati pertunjukan boneka kontemporer yang di selenggarakan oleh papermoon. Papermoon adalah kelompok kesenian teater yang berasal dari yogyakarta dimana pementasan nya
sendiri menggunakan seni teater boneka untuk membicarakan cerita, kisah, ataupun sejarah dalam konteks yang lebih mudah untuk dicerna.
Sekitar pukul 19:30 pertunjukan teater kesenian boneka itu dimulai. Nama acaranya Mwathirika, bertempat di aula Institut francais Indonesia dan diadakan dua hari, yaitu pada 15 dan 16 juni 2012.
Mwathirika memiliki tema yang dirasa cukup berat karena membuka kembali sejarah kelam bangsa indonesia, sejarah dimana banyak sekali warga sipil yang hanya karena dicurigai terlibat salah satu organisasi terlarang, maka tanpa sempat membela diri harus dipaksa hilang dan dikucilkan
masyarakat, simbol-simbol tertentu menjadi teror bagi sebagian rakyat kecil dan itupun menimpa keluarga kecil tupu dan moyo, dua karakter utama dalam pementasan Mwathirika.
Tema tersebut dikonsep dan dibentuk menjadi pementasan seni dengan hanya lima karakter sebagai penunjang cerita, menjadikan lima puluh lima menit sebagai ruang imajinatif dan transfer informasi yang sangat kreatif walau dipentaskan dengan bisu tanpa dialog dan ini sangat menarik.
Pementasan dimulai di sebuah panggung minimalis didukung dengan penggabungan visual yang apik, serta audio yang memberikan atmosfir lebih hidup pada karakter yang dimainkan, menjadi media yang begitu mudah dipahami mengenai penggambaran sejarah buram indonesia. Puppet
show yang digabung artwork pantomim dan audio visual memang pertunjukan boneka
kontemporer yang layak disimak.
seharusnya si fotografer memotret para boneka bukan memotret kami diam-diam seperti yang ini ;p
lalu setelah pertunjukan usai, kami sempat bercengkrama dengan para boneka, pemain serta sang director, kami juga tak lupa berfoto bersama. inilah keluarga baru saya:
senang sekali rasanya dapat menikmati pertunjukan apik ini bersama mereka :)
bandung. Mwathirika
sendiri menggunakan seni teater boneka untuk membicarakan cerita, kisah, ataupun sejarah dalam konteks yang lebih mudah untuk dicerna.
Sekitar pukul 19:30 pertunjukan teater kesenian boneka itu dimulai. Nama acaranya Mwathirika, bertempat di aula Institut francais Indonesia dan diadakan dua hari, yaitu pada 15 dan 16 juni 2012.
Mwathirika memiliki tema yang dirasa cukup berat karena membuka kembali sejarah kelam bangsa indonesia, sejarah dimana banyak sekali warga sipil yang hanya karena dicurigai terlibat salah satu organisasi terlarang, maka tanpa sempat membela diri harus dipaksa hilang dan dikucilkan
masyarakat, simbol-simbol tertentu menjadi teror bagi sebagian rakyat kecil dan itupun menimpa keluarga kecil tupu dan moyo, dua karakter utama dalam pementasan Mwathirika.
Tema tersebut dikonsep dan dibentuk menjadi pementasan seni dengan hanya lima karakter sebagai penunjang cerita, menjadikan lima puluh lima menit sebagai ruang imajinatif dan transfer informasi yang sangat kreatif walau dipentaskan dengan bisu tanpa dialog dan ini sangat menarik.
Pementasan dimulai di sebuah panggung minimalis didukung dengan penggabungan visual yang apik, serta audio yang memberikan atmosfir lebih hidup pada karakter yang dimainkan, menjadi media yang begitu mudah dipahami mengenai penggambaran sejarah buram indonesia. Puppet
show yang digabung artwork pantomim dan audio visual memang pertunjukan boneka
kontemporer yang layak disimak.
seharusnya si fotografer memotret para boneka bukan memotret kami diam-diam seperti yang ini ;p
lalu setelah pertunjukan usai, kami sempat bercengkrama dengan para boneka, pemain serta sang director, kami juga tak lupa berfoto bersama. inilah keluarga baru saya:
senang sekali rasanya dapat menikmati pertunjukan apik ini bersama mereka :)
bandung. Mwathirika
MWATHIRIKA untuk Tobucil ..
Dicekam Sepi Mwathirika
Di sebuah desa, atau mungkin pinggiran kota di Indonesia, ketenangan dan keceriaan berubah menjadi suram. Peristiwa 1965 yang begitu berlumuran darah adalah biang penyebab dari kesemuanya.
Adalah Moyo dan Tupu, dua kakak beradik yang hidup berbahagia dengan Baba, seorang ayah yang menyenangkan. Semua kemudian berubah. Para tertuduh yang sebagian besar tak tahu ujung pangkal bermulanya api ditangkapi. Dijadikan tumbal untuk berdirinya penguasa baru. Di sisi lain, masyarakat yang beruntung tak menjadi tertuduh kemudian seolah menjelma pula menjadi kawanan serigala yang siap membabat habis para tertuduh, meski mereka hidup bersebelahan dan para tertuduh tersebut. Kebahagiaan, kerukunan, keterbagian di antara sesama luluh lantak. Sebuah dekade gelap dalam sejarah negara yang konon menurut cerita-cerita dongeng adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi.
Simbolisasi keluluh-lantakan itu terlihat dari bagaimana persahabatan antara kakak beradik Moyo Tupu dan Lacuna, sang tetangga, tak lagi bisa berlanjut. Kelompok yang dianggap merah, harus ditangkap. Tak ada yang berani lagi berdekatan. Untuk melanjutkan hidup, memusuhi para tertuduh adalah kewajiban mutlak yang tak perlu dipertanyakan. Simbolisasi itu pun ditampilkannya pula dalam benda-benda sekitar para tokoh. Peluit yang selalu ditiup oleh Moyo dan Tupu sebagai tanda kebersatuan mereka kemudian justru menjadi salah satu penyebab yang menyebabkan keduanya terpisah.
Merinding ditambah rasa yang menyentak-nyentak di jantung menjadi karib yang tak mau pergi ketika sepasang mata saya terpekur di pojok IFI Bandung menyaksikan teater boneka bertajuk Mwathirika garapan Papermoon tersebut. Sebagai sebuah isu, peristiwa 1965, meski telah puluhan tahun berlalu, memang selalu seksi bagi siapapun. Menilik apa yang disajikan lakon Mwathirika, tak ada cerita baru yang sebenarnya hendak disampaikan. Penderitaan-penderitaan yang digambarkannya, kekalutan dengan suasana mencekam, kebingungan, doktrinitas penguasa, semuanya adalah kisah klasik, namun ia menjadi efektif sebagai obat anti lupa bagi bangsa yang konon pelupa ini.
Hal yang paling menarik bagi saya justru adalah tokoh-tokoh prajurit yang bertugas menangkap “pemberontak”. Ditampilkan dengan menggunakan topeng burung, ketegasan sekaligus kesan manusia berdarah dingin ditampilkan dengan sempurna. Bagi saya, para prajurit ini kemudian mewakili dua sisi. Pertama, ia sebagai penguasa, dan kedua, ia sebagai sang prajurit itu sendiri. Alat penguasa untuk menancapkan paham barunya. Entah saya yang terlalu melankolis, atau mungkin memang catatan sejarah kurang berpihak bagi para rakyat yang kemudian ditakdirkan untuk memakai seragam ketika peristiwa 1965 terjadi. Menjadi sang prajurit. Kegamangan itu, meski tak ditampilkan oleh Papermoon, namun kental terasa, utamanya ketika topeng-topeng menjadi muka baru para prajurit. Tak banyak yang tahu tentang apa yang ada dibalik topeng, bahkan sampai saat ini. Semuanya lalu terbungkus dalam Mwathirika. Tiap-tiap pihak adalah generasi bingung. Entah tertuduh, sang prajurit, atau sang beruntung. Generasi yang diciptakan untuk dijejali penafsiran baru. Generasi yang memang muncul untuk menjadi sebuah bagian dari revolusi anti klimaks.
Foto : Agus Bebeng
Foto : Agus Bebeng
MWATHIRIKA untuk Tiarakami...
Mwathirika berasal dari bahasa Swahili.
MWATHIRIKA adalah pertunjukan teater boneka yang dipersembahkan oleh Papermoon Puppet Theater. Mereka berasal dari Yogyakarta namun kini saya dan teman teman berkesempatan untuk menyaksikan pertunjukannya di Bandung. Pertunjukan ini sudah digagas sejak 2010 dan telah dipentaskan di Yogyakarta maupun Jakarta. Berawal dari rangkaian tweetDevita tentang acara ini, saya pun googling sedikit dan merasa bahwa ini menarik. Cerita baru di sela sela TA, pikir saya.
Sebelum menonton, saya sudah membaca reviewnya sedikit (kebiasaan, suka spoiler). Saya tahu bahwa inti cerita dari pertunjukan ini mengacu pada sejarah Indonesia di tahun 1965. Pelajaran sejarah jaman SD-SMP teringat lagi, diselingi cuplikan film G30S/PKI yang diputar tiap tahunnya. Namun ini bukan teater sejarah.
Mendengar frasa “teater boneka” mungkin jadi terpikir rumah boneka yang di Dufan ya. Bukan, ini bukan boneka yang menyeramkan gerak sendiri ke kanan ke kiri dengan tatapan mata kosong. Mereka dibuat dengan detil yang menarik serta digerakkan oleh satu hingga tiga orang. Sempat saya berpikir, kenapa gak penggerak bonekanya ditutup wajahnya, atau pakai baju hitam hitam biar kita fokus ke bonekanya. Tetapi keintiman antara pemain dan boneka itulah yang membuat cerita ini makin terasa. Kesamaan ekspresi mereka, kehati hatian dalam menggerakkan agar terasa nyata. Satu lagi yang membuat kami berdecak kagum. Boneka boneka yang ada, ya mukanya kaya gitu aja. Tapi entah bagaimana, kami bisa merasakan ekspresi takut, lelah, polos, bahagia, kosong, khawatir. Aaaah, terasa pokoknya.
Kata kata yang keluar selama teater ini berlangsung hanyalah nama tokoh yang diteriakkan. Sisanya murni dari gerak gerik boneka. Pertunjukan teater ini penuh dengan simbol yang bebas untuk diinterpretasikan seperti apa oleh penontonnya. Nama tokohnya: Baba, Moyo, Tupu, Haki, Lacuna; berasal dari bahasa Swahili yang mewakili peran masing masing tokoh. Warna merah di rumah, bendera, segitiga, balon, peluit secara tidak langsung membuat otak kita berasosiasi pada organisasi di masa itu. Topeng burung, topi hijau mengingatkan kita akan penguasa di orde itu. Ketidaksempurnaan tubuh Baba dan Lacuna menggambarkan ketidakberdayaan masayarakat.
Gerak gerik boneka ini dipadukan dengan aspek aspek pendukung lainnya yang membuatnya lengkap. Panggung dibuat jadi dua bagian, bawah dan atas; memperlihatkan apa yang terjadi di tataran bawah masyarakat dan kelakuan penguasa masa itu di atas. Video disorotkan ke layar menambah simbol simbol yang ingin diperlihatkan dengan cara yang berbeda. Penataan cahaya mendukung perubahan suasana dan emosi di setiap adegannya. Musiknya didominasi lagu dari musicbox dan suara sayup sayup peluit. Kagum rasanya bagaimana musik bisa menambah efek dalam menonton suatu pertunjukan.
Selama 55 menit, saya melihat sisi lain dari suatu periode politik. Bukan hanya di Indonesia, namun dimanapun itu berada. Ada sisi satunya lagi, sisi mereka yang tidak tahu apa apa namun dianggap hina dan pantas dimusnahkan. Mereka yang mendapat label “tidak pantas ada” sepanjang hidupnya.
Mwathirika adalah pengalaman baru bagi saya dan semoga saya gak kapok.
Mengutip dari booklet yang dibagikan sebelum kami masuk ke ruangan: “tentang sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah” Cerita ini bisa berlatar Indonesia, Jerman, Swahili, ataupun negara antah berantah. Terserah asosiasi penonton.
(dalam bahasa Swahili, Mwathirika berarti ‘korban’)
about papermoon puppet theater: http://www.papermoonpuppet.com
Mwathirika di mata estheticfilia
# Handmade News : Friday with Mwathirika
Yippiee,,, saya dapat karcis pertunjukan Mwathirika dari Papermoon Puppet ^^
Saya bersama teman saya sengaja pilih pertunjukkan tanggal 15 jam 15.00 karena hanya sesi inilah kita boleh memotret, Pertunjukkan dari Papermoon Puppettheatre ini diadakan di IFI ( Institut Francais Indonesia ) Saya bersama teman saya langsung duduk di bangku paling depan...
horaay !! pertunjukkan pun dimulai
sebelum pertunjukkan |
Mba ria dan tim papermoon puppet |
Tupu dan Moyo |
Tiket mwathirika |
Pertunjukkan yang berlangsung sekitar 55 menit ini sangatlah mengesankan ,bercerita tentang G30S/PKI, puppet ini tidak bicara tapi saya ikut terhanyut dengan ceritanya yang menyentuh jiwa. *mataberkacakaca
Puppetnya dimainkan dengan sangat realis, entah kenapa saya merasa puppet mirip dengan puppeternya meskipun teman saya Ami belum merasakan kemiripannya *hhe., jadi sejiwa sekali ketika puppeternya memainkan tokoh-tokohnya, ,backsound yang keren, lighting juga oke,kesimpulannya pertunjukkan Mwathirika impresif dan sangat Indonesia
Fotonya sedikit ya? hehe..Karena kalian wajib nonton secara langsung.. :D Begini teman-teman : 5 menit pertama saya asik foto pake kamera hp *saya lupa bawa kamera..hehe.. dan BZZZzzz..hp saya habis baterai * langsung gigit jari *_*. So, klo kalian nonton papermoon puppet lagi jangan lupa bawa kamera dan cas dulu hp kalian ya, pertunjukkan ini cantik untuk diabadikan *jempol ^^"
MWATHIRIKA di mata Perfectelle ..
Mwathirika: Ketika Boneka Unyu Menceritakan Kekejaman
Pada hari Minggu (16/6/2012) kemarin, saya panik di pagi hari ketika melihat timelineTwitter saya heboh membicarakan tagar #mwathirika. Saya sudah mendengar tentangnya sejak sekitar 1 bulan sebelumnya, namun saya lupa bahwa itu adalah hari H pementasan. Sebenarnya, pertunjukan boneka Mwathirika yang dibawakan olehPapermoon Puppets Theatre Jogjakarta ini diadakan di Bandung tiga kali selama dua hari, dua kali pada tanggal 15 pukul 15.30 dan 19.30, dan satu kali di tanggal 16 pukul 19.30. Maka, malam itu adalah pementasan terakhir. Saya panik ketika menemukan di Twitter bahwa tiket sudah habis terjual. Setelah bertanya pada MbakTarlen, pemilik Tobucil – tempat tiketnya dijual di Bandung – melalui akun Twitternya, saya memutuskan go show saja datang ke Insitut Francais d’Indonesie (IFI), siapa tahu dapat tiket.
Ternyata banyak sekali yang datang, juga orang-orang seperti saya yang belum punya tiket. Semua penasaran dengan pertunjukan boneka yang kontroversial ini. Mwathirika pertama kali dipentaskan pada Desember 2010 di Jogja. Pada 18-21 Januari 2011, pertunjukan ini dipentaskan bersamaan dengan Pameran Indonesia and the World in 1965 di Goethe Haus Jakarta, diwarnai dengan ancaman demo sekelompok orang di depan gedung. Mengapa? Karena Mwathirika bercerita tentang korban-korban politik pada insiden G30S/PKI. Nama Mwathirika sendiri diambil dari Bahasa Swahili, suatu suku di Afrika, yang berarti ‘korban’. Nama-nama karakter dalam lakon ini pun diambil dari bahasa Swahili. Saya kurang paham mengapa judul tersebut diambil dari bahasa asing itu. Mungkin ada pertimbangan lain selain nilai estetika? Saya harap begitu. Digarap oleh pasangan suami-istri Maria “Ria” Tri Sulistyani – yang anak seorang Letkol AU – dan Iwan Effendi – cucu seorang dalang yang menjadi tahanan politik selama 13 tahun – tentu saya yang bisa dibilang awam ini berharap Mwathirika membuka persepsi saya tentang masa kelam itu. Papermoon Puppet Theatre sendiri, konon, mengadaptasi suatu seni teater boneka kuno Jepang. Tahun ini, tepatnya pada bulan September nanti, mereka akan tur mementaskan Mwathirika di Amerika Serikat. Beruntung, setelah mengantri waiting list sekitar satu jam, akhirnya saya berhasil mendapatkan tiket orang yang urung datang.
Mwathirika dibuka dengan kemunculan Baba, seorang ayah berlengan satu yang memiliki dua anak bernama Moyo, 10 tahun, dan Tupu, 4 tahun. Dari awal pementasan tanpa kata ini, banyak simbol bertebaran yang cepat ditangkap oleh otak secara sadar maupun tidak, seperti rumah Baba yang berwarna merah disandingkan dengan rumah Haki, tetangganya, yang berwarna hijau. Juga Baba yang muncul dengan membawa balon merah di tangannya yang hanya sebuah. Dan segitiga merah penanda rumah Baba, yang digoreskan manusia-manusia bertopeng pada suatu malam. Cerita berlanjut dengan kemunculan Tupu yang super imut dan menggemaskan. Lalu Moyo yang tampak sangat “ke-kakak-an”. Mereka hidup rukun bertetangga dengan Haki dan anaknya Lacuna yang berkursi roda. Pada awalnya, saya bingung melihat orang-orang yang muncul berseliweran di panggung. Bukankah selain para boneka, mereka seharusnya tidak terlihat? Ternyata begitulah memang tekniknya. Seorang pemain boneka ‘memegang’ satu boneka, duduk di bangku beroda untuk menggerak-gerakkan mereka. Walau sang pemain boneka terlihat, entah bagaimana saya dapat merasakan ‘jiwa’ tiap boneka. Hal yang terungkap kelak ketika manusia-manusia tanpa boneka berjalan dengan bangku masing-masing di panggung, menggambarkan jiwa-jiwa yang telah pergi. Tupu dan Moyo, dengan menggunakan ‘tubuh’ boneka yang menggemaskan, berhasil menguras emosi seluruh penonton ketika adegan-adegan seram dan menyedihkan tersaji: penangkapan Baba, penantian mereka akan kepulangan sang Ayah yang tiada akhir, Moyo yang ditangkap hanya karena memakai peluit berwarna merah, Tupu yang tertinggal sendirian dan dijauhi oleh tetangganya, hingga adegan eksekusi yang simbolis namun menghancurkan hati penonton. Air mata saya sudah mengucur deras sejak adegan Baba tertangkap. Lirik punya lirik, tampaknya seluruh penonton di sekitar saya pun begitu (syukurlah).
Maka saya sadar betul, pertunjukan boneka ini sukses menunjukkan persepsi emosional dari kacamata anak-anak keluarga korban politik. Penggunaan karakter-karakter boneka unyu sebagai penggambaran jiwa anak-anak yang tanpa dosa namun harus menanggung akibat dari sesuatu yang tidak mereka mengerti, yaitu politik, sangat menyentuh siapa pun yang melihatnya.
Namun, ada satu hal yang saya rasa perlu saya ceritakan. Dalam perjalanan menuju IFI, saya diantar oleh ayah saya, seorang dokter pensiunan TNI berusia 69 tahun. Sepanjang jalan, berkenaan dengan maksud saya menonton Mwathirika, kami terlibat pembicaraan mengenai PKI. Ayah saya adalah seorang tentara plek ketiplek. Begitu juga almarhum kakek saya. Ayah saya, seorang saksi mata perjalanan bangsa dari sejak belum berdirinya RI, memprotes orang-orang masa kini yang menunjukkan seolah-olah, kasarnya, PKI adalah benar. Dalam masa jayanya, Partai Komunis Indonesia telah melakukan pembantaian yang tak terhitung jumlahnya pada siapa saja yang melawannya.* Pada masa itu, menurut beliau, banyak seniman yang tertarik bergabung karena doktrin mereka tentang idealisme suatu negeri perdamaian, membantu dengan membuat karya-karya propaganda. Termasuk penulis favorit saya sepanjang masa, Pramoedya Ananta Toer. Suatu mimpi tentang negeri Utopia, yang mereka tempuh dengan ribuan pembunuhan keji di berbagai tempat. Satu fakta sejarah yang tidak boleh kita kesampingkan sampai kapanpun, apapun fakta yang kini ditemukan.
Mwathirika sukses menggambarkan korban – dalam hal ini keluarga PKI – yang tidak bersalah, yaitu anak-anak. Namun menurut saya ada beberapa hal kecil yang terlupakan. Penggambaran tentara (TNI?) yang menggunakan manusia (seperti raksasa) bertopeng burung-burung sangar, digambarkan begitu keji. Dalam argumentasi sebagai penilaian dari kacamata anak-anak seperti Moyo dan Tupu, mungkin bisa dibenarkan. Tapi, mengingat penonton Mwathirika justru adalah orang-orang dewasa yang saya yakin sebagian besar terlahir jauh setelah tragedi 1965 seperti halnya saya sendiri, saya tidak dapat menyetujui. Bahwa kekejaman dialami oleh para korban politik, pasti benar. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwa kekejaman politik dialami oleh kedua belah pihak, tidak hanya dari keluarga PKI. Bagaimana dengan keluarga para korban PKI? Hal yang menurut saya juga perlu untuk diketahui pemuda-pemuda bangsa yang hidup di zaman sekarang seperti saya.
Saya bukanlah seorang seniman, menulis pun setengah-setengah. Saya tidak tahu sama sekali tentang perjuangan di balik layar panggung sebuah teater. Namun saya berharap semoga suatu hari nanti ada pertunjukan sebagus Mwathirika yang mampu bercerita dengan mempertahankan kesederhanannya, tetapi haruslah sanggup menggambarkan situasi sejarah secara komprehensif. Tentunya, tetap dengan ke-unyu-annya yang berhasil mengocok emosi.
*) Sumber:
Langganan:
Postingan (Atom)