Senin, 16 Juli 2012

MWATHIRIKA untuk Tiarakami...


null
gambar dr http://tobucil.blogspot.com/
Mwathirika berasal dari bahasa Swahili.
MWATHIRIKA adalah pertunjukan teater boneka yang dipersembahkan oleh Papermoon Puppet Theater. Mereka berasal dari Yogyakarta namun kini saya dan teman teman berkesempatan untuk menyaksikan pertunjukannya di Bandung. Pertunjukan ini sudah digagas sejak 2010 dan telah dipentaskan di Yogyakarta maupun Jakarta. Berawal dari rangkaian tweetDevita tentang acara ini, saya pun googling sedikit dan merasa bahwa ini menarik. Cerita baru di sela sela TA, pikir saya.
Sebelum menonton, saya sudah membaca reviewnya sedikit (kebiasaan, suka spoiler). Saya tahu bahwa inti cerita dari pertunjukan ini mengacu pada sejarah Indonesia di tahun 1965. Pelajaran sejarah jaman SD-SMP teringat lagi, diselingi cuplikan film G30S/PKI yang diputar tiap tahunnya. Namun ini bukan teater sejarah.
Mendengar frasa “teater boneka” mungkin jadi terpikir rumah boneka yang di Dufan ya. Bukan, ini bukan boneka yang menyeramkan gerak sendiri ke kanan ke kiri dengan tatapan mata kosong. Mereka dibuat dengan detil yang menarik serta digerakkan oleh satu hingga tiga orang. Sempat saya berpikir, kenapa gak penggerak bonekanya ditutup wajahnya, atau pakai baju hitam hitam biar kita fokus ke bonekanya. Tetapi keintiman antara pemain dan boneka itulah yang membuat cerita ini makin terasa. Kesamaan ekspresi mereka, kehati hatian dalam menggerakkan agar terasa nyata. Satu lagi yang membuat kami berdecak kagum. Boneka boneka yang ada, ya mukanya kaya gitu aja. Tapi entah bagaimana, kami bisa merasakan ekspresi takut, lelah, polos, bahagia, kosong, khawatir. Aaaah, terasa pokoknya.
Kata kata yang keluar selama teater ini berlangsung hanyalah nama tokoh yang diteriakkan. Sisanya murni dari gerak gerik boneka. Pertunjukan teater ini penuh dengan simbol yang bebas untuk diinterpretasikan seperti apa oleh penontonnya. Nama tokohnya: Baba, Moyo, Tupu, Haki, Lacuna; berasal dari bahasa Swahili yang mewakili peran masing masing tokoh.   Warna merah di rumah, bendera, segitiga, balon, peluit secara tidak langsung membuat otak kita berasosiasi pada organisasi di masa itu. Topeng burung, topi hijau mengingatkan kita akan penguasa di orde itu. Ketidaksempurnaan tubuh Baba dan Lacuna menggambarkan ketidakberdayaan masayarakat.
Gerak gerik boneka ini dipadukan dengan aspek aspek pendukung lainnya yang membuatnya lengkap. Panggung dibuat jadi dua bagian, bawah dan atas; memperlihatkan apa yang terjadi di tataran bawah masyarakat dan kelakuan penguasa masa itu di atas. Video disorotkan ke layar menambah simbol simbol yang ingin diperlihatkan dengan cara yang berbeda. Penataan cahaya mendukung perubahan suasana dan emosi di setiap adegannya. Musiknya didominasi lagu dari musicbox dan suara sayup sayup peluit. Kagum rasanya bagaimana musik bisa menambah efek dalam menonton suatu pertunjukan.
Selama 55 menit, saya melihat sisi lain dari suatu periode politik. Bukan hanya di Indonesia, namun dimanapun itu berada. Ada sisi satunya lagi, sisi mereka yang tidak tahu apa apa namun dianggap hina dan pantas dimusnahkan. Mereka yang mendapat label “tidak pantas ada” sepanjang hidupnya.
Mwathirika adalah pengalaman baru bagi saya dan semoga saya gak kapok.
Mengutip dari booklet yang dibagikan sebelum kami masuk ke ruangan: “tentang sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah” Cerita ini bisa berlatar Indonesia, Jerman, Swahili, ataupun negara antah berantah. Terserah asosiasi penonton.
(dalam bahasa Swahili, Mwathirika berarti ‘korban’)
Haki, dalam bahasa Swahili berarti ‘kanan’
Tupu, dalam bahasa Swahili berarti ‘kosong’
booklet & tiket mwathirika
null
boneka boneka di negeri mwathirika (foto dr udabow.tumblr.com)
about papermoon puppet theater: http://www.papermoonpuppet.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar