Senin, 16 Juli 2012

MWATHIRIKA bagi Amyasti's



MWATHIRIKA: MENCERITAKAN SEJARAH MEMAINKAN SEJARAH

15 Juni 2012,
Bandung
Semua bermula dari ajakan Devita dan Rani untuk menghadiri Puppet Show. Kata mereka, Puppet Theatredengan nama Papermoon ini akan hadir lagi di Bandung. Mereka sudah pernah menonton dan mengajak saya kali ini untuk ikut serta. Gak pakai ba-bi-bu lagi saya langsung mengiyakan. Satu-satunya pementasan yang sudah pernah saya tonton selain pentas tari dan ludruk adalah pementasan teater. Terakhir kali menonton teater itu tahun lalu, di TIM Jakarta. Bercerita tentang sejarah Soekarno dilihat dari kacamata seorang Fatmawati Soekarno. Saya selalu senang menonton pertunjukan seperti ini. Melihat apapun dari sudut pandang lain selalu menyenangkan. Dan sejarah adalah sesuatu yang berubah-ubah tergantung sudut pandang si pencerita sejarahnya.
Jadi berangkatlah saya ke IFI (dulu CCF, Bandung) untuk menonton puppet show dengan judul Mwathirika. Saya gak tahu menahu tentang pementasan ini sebelumnya. Ini kebiasaan saya dari dulu-dulu. Tiap menonton pagelaran atau pementasan tidak pernah mencari tahu sebelumnya. Jadi apapun itu, tonton saja. Prinsipnya: Surprise me!
Dan pementasan ini sama sekali jauh dari kata mengecewakan. Seriusan.
Mwathirika sendiri berasal dari bahasa Swahili di Afrika Selatan yang berarti “korban”. Adapun pengambilan nama yang asing ini merupakan suatu kesengajaan. Sengaja ia tak mengambil bahasa yang bisa dimengerti maknanya dengan mudah, karena tak ingin cerita di teater ini diasosiasikan dengan peristiwa tertentu (sumber disini). Mwathirika yang dimainkan bersetting tahun 1969. Gonjang-ganjingnya Indonesia.
Ada 5 tokoh utamanya.
Adalah Baba, seorang ayah dengan satu lengan yang mempunyai 2 orang anak. Seorang single parent tapi selalu humble terhadap keluarga dan orang disekitarnya; Adalah Moyo, seorang kakak dari 2 bersaudara. Usianya 10 tahun dan selalu berusaha menjaga adiknya dengan segala kemampuan yang ia punya dan membuat adiknya senang; Adalah Tupu, anak bungsu berusia 4 tahun yang selalu riang gembira; Adalah Haki, tetangga Baba yang juga merupakan seorang single parent. Ingin hidup aman tentram. Hanya ingin menjaga Lacuna; Adalah Lacuna, anak perempuan dari Haki yang duduk di kursi roda. Mempunyai hati yang lembut.
Tokoh-tokoh Mwathirika
Seperti yang sudah saya ungkapkan di atas, saya tidak mempunyai bayangan sebelumnya pementasan ini akan seperti apa. Satu-satunya ‘puppet’ yang saya paham adalah seperti di rumah boneka dufan atau lebih general lagi: pinokio, tapi saya yakin pasti bukan seperti itu.
7:30 malam pintu auditorium dibuka, pengunjung dipersilahkan masuk. Kali ini, pengunjung dikenai biaya sebesar 30 ribu rupiah untuk menonton pertunjukan 55 menit. Ketika saya masuk, di bagian depan auditorium sudah diletakkan 2 buah boneka yang baru saya tahu namanya adalah Baba dan Haki setelah acara mulai. Tidak ada kursi. Tempat duduk diatur secara berundak-undak dan lesehan. Mulanya Devita dan saya memilih tempat di undakan ke 3, namun saya dengan cepat mengajak Devita untuk pindah ke paling depan. Iya, sejajar boneka. Biar lebih jelas terlihat. Devita mau. Pembatas kami dengan bonekanya sekarang adalah hanya garis berwarna hitam saja.
Baba dan Haki, tampilan awal
Saya suka sekali dengan mata dari boneka-boneka ini. Serasa hidup. Matanya hitam legam namun memantulkan cahaya yang entah bagaimana kelihatan apabila boneka itu dihadapkan ke kita. Sepanjang pementasan saya termangu berpikir bagaimana menjadikan boneka-boneka tersebut seperti yang bernyawa. Sepanjang pementasan pula saya dibuat ketawa, senyum-senyum sendiri, meringis, bahkan sampai sempat meneteskan air mata terharu. Untung saja ruangan tersebut gelap.
Satu yang saya suka lagi, pementasan ini memperhatikan hal detail. Ekspresi, gelak tawa, dekorasi, semuanya detail sampai ke hal yang mendasar.
Kenalinnn, namanya Tupu <3
Ini bukan pementasan boneka yang menggunakan tali. Mwathirika dimainkan langsung oleh pemain bonekanya. Boneka tersebut dinaikkan, dijatuhkan, didorong, ditarik, dipeluk, dibantu jalan, dll. Boneka tersebut dianggap anak. Suara-suara yang dikeluarkan berasal dari suara pemain boneka. Sepanjang pementasan mereka hanya meneriakkan nama-nama tokohnya. Adapun main sound dan narasi berasal dari rekaman yang ditampilkan di proyektor. Satu hal yang membuat saya selalu teringat oleh Mwathirika adalah suara yang berasal dari music box yang terus menerus dimainkan. Musik yang bisa bikin merinding mencekam juga senang gembira tergantung play-nya.
Tidak ketinggalan panggung dibuat menjadi 2 bagian, bagian atas dan bawah. Baba, Haki, dll berada di bawah sedangkan kaum penguasa berada di bagian atas. Pementasan ini juga identik dengan peluit, segitiga, dan warna merah. Asosiasi yang sangat jelas sebagai pendukung kelengkapan cerita sejarah.
Pulang dari pementasan, saya langsung googling tentang apa dan siapa orang-orang dibalik Papermoon Puppet Theatre. Dan ternyata ada informasi seperti ini:
Lakon ini digarap oleh pasangan suami istri yang bersentuhan langsung dengan sejarah kelam 1959-1969; Maria Tri Sulistyani (anak Letkol TNI AU) dan Iwan Effendi (cucu dalang yang menjadi tahanan politik selama 13 tahun).
Pantas menyentuh. Langsung dari korbannya saat itu. :”)
Saya dan Devita bareng mbak Maria Tri Sulistyani (Ria)
Mwathirika. Menceritakan sejarah dengan cara memainkannya. Sungguh sangat brilian. 55 menit dan saya melihat sejarah dari sudut pandang yang berbeda. Bukan seperti cara buku sejarah, tapi secara orang sejarah, sumber sejarahnya langsung.
Mwathirika. Tentang sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah. Semoga kita selalu ingat bahwa sejarah itu tidak mutlak. Tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi. Silahkan ditonton yaa teman-teman kalau pas Papermoon-nya datang ke kota kalian. Worth to see!
Terima kasih Papermoon Puppet Theater!!! Saya pasti gak akan bosan menonton pementasan kalian. Sukses juga untuk pementasannya di Amerika bulan depan!
Salam hormat.
jadi paling tua sih kayaknya gw disini, tapi yaudah ajalah yaa hahaha (credit to Bow for the picture)
~p.r.p.l.p.h.r.z
Ps:
Tentang papermoon lebih lanjut disini.
Tentang mwathirika lebih lanjut disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar