Mwathirika: Ketika Boneka Unyu Menceritakan Kekejaman
Pada hari Minggu (16/6/2012) kemarin, saya panik di pagi hari ketika melihat timelineTwitter saya heboh membicarakan tagar #mwathirika. Saya sudah mendengar tentangnya sejak sekitar 1 bulan sebelumnya, namun saya lupa bahwa itu adalah hari H pementasan. Sebenarnya, pertunjukan boneka Mwathirika yang dibawakan olehPapermoon Puppets Theatre Jogjakarta ini diadakan di Bandung tiga kali selama dua hari, dua kali pada tanggal 15 pukul 15.30 dan 19.30, dan satu kali di tanggal 16 pukul 19.30. Maka, malam itu adalah pementasan terakhir. Saya panik ketika menemukan di Twitter bahwa tiket sudah habis terjual. Setelah bertanya pada MbakTarlen, pemilik Tobucil – tempat tiketnya dijual di Bandung – melalui akun Twitternya, saya memutuskan go show saja datang ke Insitut Francais d’Indonesie (IFI), siapa tahu dapat tiket.
Ternyata banyak sekali yang datang, juga orang-orang seperti saya yang belum punya tiket. Semua penasaran dengan pertunjukan boneka yang kontroversial ini. Mwathirika pertama kali dipentaskan pada Desember 2010 di Jogja. Pada 18-21 Januari 2011, pertunjukan ini dipentaskan bersamaan dengan Pameran Indonesia and the World in 1965 di Goethe Haus Jakarta, diwarnai dengan ancaman demo sekelompok orang di depan gedung. Mengapa? Karena Mwathirika bercerita tentang korban-korban politik pada insiden G30S/PKI. Nama Mwathirika sendiri diambil dari Bahasa Swahili, suatu suku di Afrika, yang berarti ‘korban’. Nama-nama karakter dalam lakon ini pun diambil dari bahasa Swahili. Saya kurang paham mengapa judul tersebut diambil dari bahasa asing itu. Mungkin ada pertimbangan lain selain nilai estetika? Saya harap begitu. Digarap oleh pasangan suami-istri Maria “Ria” Tri Sulistyani – yang anak seorang Letkol AU – dan Iwan Effendi – cucu seorang dalang yang menjadi tahanan politik selama 13 tahun – tentu saya yang bisa dibilang awam ini berharap Mwathirika membuka persepsi saya tentang masa kelam itu. Papermoon Puppet Theatre sendiri, konon, mengadaptasi suatu seni teater boneka kuno Jepang. Tahun ini, tepatnya pada bulan September nanti, mereka akan tur mementaskan Mwathirika di Amerika Serikat. Beruntung, setelah mengantri waiting list sekitar satu jam, akhirnya saya berhasil mendapatkan tiket orang yang urung datang.
Mwathirika dibuka dengan kemunculan Baba, seorang ayah berlengan satu yang memiliki dua anak bernama Moyo, 10 tahun, dan Tupu, 4 tahun. Dari awal pementasan tanpa kata ini, banyak simbol bertebaran yang cepat ditangkap oleh otak secara sadar maupun tidak, seperti rumah Baba yang berwarna merah disandingkan dengan rumah Haki, tetangganya, yang berwarna hijau. Juga Baba yang muncul dengan membawa balon merah di tangannya yang hanya sebuah. Dan segitiga merah penanda rumah Baba, yang digoreskan manusia-manusia bertopeng pada suatu malam. Cerita berlanjut dengan kemunculan Tupu yang super imut dan menggemaskan. Lalu Moyo yang tampak sangat “ke-kakak-an”. Mereka hidup rukun bertetangga dengan Haki dan anaknya Lacuna yang berkursi roda. Pada awalnya, saya bingung melihat orang-orang yang muncul berseliweran di panggung. Bukankah selain para boneka, mereka seharusnya tidak terlihat? Ternyata begitulah memang tekniknya. Seorang pemain boneka ‘memegang’ satu boneka, duduk di bangku beroda untuk menggerak-gerakkan mereka. Walau sang pemain boneka terlihat, entah bagaimana saya dapat merasakan ‘jiwa’ tiap boneka. Hal yang terungkap kelak ketika manusia-manusia tanpa boneka berjalan dengan bangku masing-masing di panggung, menggambarkan jiwa-jiwa yang telah pergi. Tupu dan Moyo, dengan menggunakan ‘tubuh’ boneka yang menggemaskan, berhasil menguras emosi seluruh penonton ketika adegan-adegan seram dan menyedihkan tersaji: penangkapan Baba, penantian mereka akan kepulangan sang Ayah yang tiada akhir, Moyo yang ditangkap hanya karena memakai peluit berwarna merah, Tupu yang tertinggal sendirian dan dijauhi oleh tetangganya, hingga adegan eksekusi yang simbolis namun menghancurkan hati penonton. Air mata saya sudah mengucur deras sejak adegan Baba tertangkap. Lirik punya lirik, tampaknya seluruh penonton di sekitar saya pun begitu (syukurlah).
Maka saya sadar betul, pertunjukan boneka ini sukses menunjukkan persepsi emosional dari kacamata anak-anak keluarga korban politik. Penggunaan karakter-karakter boneka unyu sebagai penggambaran jiwa anak-anak yang tanpa dosa namun harus menanggung akibat dari sesuatu yang tidak mereka mengerti, yaitu politik, sangat menyentuh siapa pun yang melihatnya.
Namun, ada satu hal yang saya rasa perlu saya ceritakan. Dalam perjalanan menuju IFI, saya diantar oleh ayah saya, seorang dokter pensiunan TNI berusia 69 tahun. Sepanjang jalan, berkenaan dengan maksud saya menonton Mwathirika, kami terlibat pembicaraan mengenai PKI. Ayah saya adalah seorang tentara plek ketiplek. Begitu juga almarhum kakek saya. Ayah saya, seorang saksi mata perjalanan bangsa dari sejak belum berdirinya RI, memprotes orang-orang masa kini yang menunjukkan seolah-olah, kasarnya, PKI adalah benar. Dalam masa jayanya, Partai Komunis Indonesia telah melakukan pembantaian yang tak terhitung jumlahnya pada siapa saja yang melawannya.* Pada masa itu, menurut beliau, banyak seniman yang tertarik bergabung karena doktrin mereka tentang idealisme suatu negeri perdamaian, membantu dengan membuat karya-karya propaganda. Termasuk penulis favorit saya sepanjang masa, Pramoedya Ananta Toer. Suatu mimpi tentang negeri Utopia, yang mereka tempuh dengan ribuan pembunuhan keji di berbagai tempat. Satu fakta sejarah yang tidak boleh kita kesampingkan sampai kapanpun, apapun fakta yang kini ditemukan.
Mwathirika sukses menggambarkan korban – dalam hal ini keluarga PKI – yang tidak bersalah, yaitu anak-anak. Namun menurut saya ada beberapa hal kecil yang terlupakan. Penggambaran tentara (TNI?) yang menggunakan manusia (seperti raksasa) bertopeng burung-burung sangar, digambarkan begitu keji. Dalam argumentasi sebagai penilaian dari kacamata anak-anak seperti Moyo dan Tupu, mungkin bisa dibenarkan. Tapi, mengingat penonton Mwathirika justru adalah orang-orang dewasa yang saya yakin sebagian besar terlahir jauh setelah tragedi 1965 seperti halnya saya sendiri, saya tidak dapat menyetujui. Bahwa kekejaman dialami oleh para korban politik, pasti benar. Namun satu hal yang perlu diingat adalah bahwa kekejaman politik dialami oleh kedua belah pihak, tidak hanya dari keluarga PKI. Bagaimana dengan keluarga para korban PKI? Hal yang menurut saya juga perlu untuk diketahui pemuda-pemuda bangsa yang hidup di zaman sekarang seperti saya.
Saya bukanlah seorang seniman, menulis pun setengah-setengah. Saya tidak tahu sama sekali tentang perjuangan di balik layar panggung sebuah teater. Namun saya berharap semoga suatu hari nanti ada pertunjukan sebagus Mwathirika yang mampu bercerita dengan mempertahankan kesederhanannya, tetapi haruslah sanggup menggambarkan situasi sejarah secara komprehensif. Tentunya, tetap dengan ke-unyu-annya yang berhasil mengocok emosi.
*) Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar