TUESDAY, JUNE 19, 2012
Mengintip Jendela Dunia Mwathirika
Sempat getir tidak mendapatkan tiket ... beruntung saya mendapatkan kursi waiting list yang konon pemiliknya tak kunjung datang sampai detik akhir pertunjukan dimulai. Sempat membaca beberapa artikel dan informasi di beberapa media on line serta berita mulut ke mulut dari teman-teman mengenai kelompok teater ini membuat saya merasa penasaran, tapi baru kali saya berkesempatan untuk menyaksikan langsung pertunjukan mereka di Bandung.
Papermoon puppet theater adalah sekelompok muda-mudi dari kota Jogja berada dibalik semua ini. Menggabungkan pendekatan artistik seni rupa dengan pementasan teater boneka penuh bahasa gesture yang atraktif. Musik kontemporer yang digarap dengan apik, dari epic, ambience sampai beat-beat trip hop mampu menggiring rasa dan mengaduk emosi para penonton. Juga suguhan bahasa visual dari video art yang tidak sekedar menjadi backdrop tetapi juga turut bertutur. Segar, menghibur namun tidak enteng, rasanya tidaklah terlalu sulit untuk 'mengunyah' pesan yang ingin disampaikan dalam cerita berjudul "Mwathirika" ini. Di ruangan yang hanya dibatasi sekitar kurang dari 100 orang penonton, pertunjukan teater ini begitu cair, tanpa batasan 'panggung' dimana para boneka (puppet) dan puppeteers (pemain boneka) berada sangat dekat dengan penonton, mengundang kita untuk masuk ke dalam dunia "Mwathirika".
Diambil dari bahasa Swahili, suku dari Afrika timur, Mwathirika memiliki arti kata korban. Berseting tahun 1965, cerita ini bertutur tentang kehidupan sebuah keluarga tanpa sosok ibu, yaitu Ayah (Baba) dan dua orang anak (Tupu dan Moyo). Diseberang dimana mereka tinggal terdapat sebuah rumah yang dihuni oleh sosok ayah (Haki) dan anak perempuan semata wayangnya bernama Lacuna. Kehidupan dua bertetangga ini baik-baik saja sampai terjadi eskalasi politik ditingkatan elite penguasa yang menyebabkan keluarga Baba (tanpa mereka ketahui) harus menanggung akibatnya. Membawa kita kepada retrospeksi sejarah masa lalu negeri ini yang pernah mempunyai lembaran kelam.
Tanpa dialog, dipandu oleh gerak lincah bahasa tubuh dan isyarat tangan dari para boneka, sesekali bunyi panggilan nama, menarik konsentrasi penonton untuk mengikuti alur cerita, sangat sulit untuk tidak fokus pada apa yang terjadi di 'panggung'. Yang paling sangat saya ingat (mungkin berkesan bagi saya) adalah adegan time lapse yang menggambarkan dimana ketika Moyo dan Tupu dari malam ke malam, hari ke hari dan waktu ke waktu menunggu sosok sang ayah (Baba) yang tidak kunjung kembali ke rumah, setelah 'dijemput' oleh tentara-tentara berwajah burung nazar. Time lapse yang umum digunakan di dunia fotografi dan sinematografi ini begitu subtil dan renyah diterjemahkan kedalam lakon boneka, ditunjang oleh latar video visual, tata cahaya dan musik yang membawa penonton seolah-olah ikut merasakan perjalanan waktu penuh penantian dan ketidakjelasan.
Bagi saya drama satire ini sukses secara keseluruhan, saya diajak untuk terus menerus ingin tahu kejutan apa yang akan terjadi pada setiap adegannya. Tanpa dipenuhi properti-properti yang extravaganza, penata artistik dan sutradara begitu cermat mengakali ruang, sehingga tanpa narasi pun, perpindahan setting dari adegan ke adegan akan mudah dikenali. Hanya satu yang mengganjal di penghujung cerita, mengapa rumah Baba berubah menjadi rumah/bangunan penuh dengan lambang-lambang mekanisasi, kemudian adegan didalam rumah/bangunan tersebut para tentara berwajah burung nazar bergerak seperti mesin, membubuhkan 'topi segitiga merah' pada boneka-boneka dari dalam kotak. Dua adegan simbolisasi tadi seperti diletakan oleh sutradara sebagai penutup untuk membuka ruang dialog atau intepretasi seluas mungkin dan mengajak penonton untuk mencari jawaban dari refleksi dikeseharian kita. Ditutup oleh tepuk tangan meriah dan standing applaus dari penonton, decak kagum atas kreatifitas dan eksekusi teater boneka ini memang pantas mendapatkan apresiasi.
Diambil dari bahasa Swahili, suku dari Afrika timur, Mwathirika memiliki arti kata korban. Berseting tahun 1965, cerita ini bertutur tentang kehidupan sebuah keluarga tanpa sosok ibu, yaitu Ayah (Baba) dan dua orang anak (Tupu dan Moyo). Diseberang dimana mereka tinggal terdapat sebuah rumah yang dihuni oleh sosok ayah (Haki) dan anak perempuan semata wayangnya bernama Lacuna. Kehidupan dua bertetangga ini baik-baik saja sampai terjadi eskalasi politik ditingkatan elite penguasa yang menyebabkan keluarga Baba (tanpa mereka ketahui) harus menanggung akibatnya. Membawa kita kepada retrospeksi sejarah masa lalu negeri ini yang pernah mempunyai lembaran kelam.
Moyo, Tupu dan Lacuna |
Tanpa dialog, dipandu oleh gerak lincah bahasa tubuh dan isyarat tangan dari para boneka, sesekali bunyi panggilan nama, menarik konsentrasi penonton untuk mengikuti alur cerita, sangat sulit untuk tidak fokus pada apa yang terjadi di 'panggung'. Yang paling sangat saya ingat (mungkin berkesan bagi saya) adalah adegan time lapse yang menggambarkan dimana ketika Moyo dan Tupu dari malam ke malam, hari ke hari dan waktu ke waktu menunggu sosok sang ayah (Baba) yang tidak kunjung kembali ke rumah, setelah 'dijemput' oleh tentara-tentara berwajah burung nazar. Time lapse yang umum digunakan di dunia fotografi dan sinematografi ini begitu subtil dan renyah diterjemahkan kedalam lakon boneka, ditunjang oleh latar video visual, tata cahaya dan musik yang membawa penonton seolah-olah ikut merasakan perjalanan waktu penuh penantian dan ketidakjelasan.
Bagi saya drama satire ini sukses secara keseluruhan, saya diajak untuk terus menerus ingin tahu kejutan apa yang akan terjadi pada setiap adegannya. Tanpa dipenuhi properti-properti yang extravaganza, penata artistik dan sutradara begitu cermat mengakali ruang, sehingga tanpa narasi pun, perpindahan setting dari adegan ke adegan akan mudah dikenali. Hanya satu yang mengganjal di penghujung cerita, mengapa rumah Baba berubah menjadi rumah/bangunan penuh dengan lambang-lambang mekanisasi, kemudian adegan didalam rumah/bangunan tersebut para tentara berwajah burung nazar bergerak seperti mesin, membubuhkan 'topi segitiga merah' pada boneka-boneka dari dalam kotak. Dua adegan simbolisasi tadi seperti diletakan oleh sutradara sebagai penutup untuk membuka ruang dialog atau intepretasi seluas mungkin dan mengajak penonton untuk mencari jawaban dari refleksi dikeseharian kita. Ditutup oleh tepuk tangan meriah dan standing applaus dari penonton, decak kagum atas kreatifitas dan eksekusi teater boneka ini memang pantas mendapatkan apresiasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar